Skip to main content

al-Maslahah al-Mursalah Menurut Imam al-Ghazali

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: January 06, 2012

Islam adalah agama yang memiliki aspek akidah (aqidah) dan syariat (syari’ah), Istilah syariat pada mulanya memiliki arti yang luas, tidak hanya berarti fikih (fiqh) dan hukum, tetapi mencakup pula akidah dan segala yang diperintahkan Allah. Al-Ghazali berangkat dari al-Quran, sunnah tanpa mengada-ada mebolehkan pelanggaran sesuatu yang tidak bertentangan dengan nas. Misalnya; Umar telah menghapus hukuman untuk pencuri pada musin kelaparan.
Kami ingin mengatakan, orang lapar yang mencuri untuk makan, atau agar anak-anaknya bisa makan, menurut kesepakatan ulama hukuman potong tangan tidak berlaku atas mereka. Lalu ketentuan syari’at mana yang dihapus oleh Umar?. Memotong tangan pencuri yang dengan sengaja merampas dan menzalimi hak orang lain adalah hukuman dari Allah yang berlaku sampai akhir zaman. Untuk memberlakukan hadd (hukuman yang kadarnya telah ditentukan) harus dipenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan. Barang siapa mencuri barang yang harganya di bawah nishab, atau mencuri barang yang tidak terjaga, maka tangannya tidak boleh dipotong. Tapi boleh dikatakan hadd itu tidak berlaku, tapi harus dikatakan hadd belum bisa berlaku.
Bahwa dalam musin paceklik hukuman potong tangan tidak berlaku. Keputusan ini sifatnya pengecualian karena adanya kondisi khusus, namun ketika situasinya normal kembali beliau akan memberlakukan hadd. Jadi hadd ini tidak berlaku ketika ada syubhat. Maslahat harus selalu menjadi bahan pertimbangan karena inti nas syar’i selalu terkait dengan maslahat.begitupun Misalnya apa artinya orang minum sambil duduk atau berdiri ? Para ahli fiqhi berpendapat bahwa minum sambil berdiri hukumnya mubah, tapi minum dengan duduk lebih utama, jadi tidak haram bila hal ini dilakukan sambil berdiri. Adapun beberapa pandangannya yang tersebar dalam kitabnya diantaranya:
Kitab al-Mankul
Al-Gazali dalam kitab al-Mankul berbicara tentang qiyas, mengisyaratkan bahwa maslahat itu cukup banyak dan prinsip dasar yang mesti dijadikan landasan oleh mujtahid dalam mengembangkan hukum Islam, karena pada hakikatnya, semua permasalahan dalam kehidupan yang dihadapi oleh umat manusia itu telah ada hukumnya di dalam Islam, baik secara langsung, atau tidak langsung. Untuk itu, perlu digali lewat ijtihad sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang telah digariskan Islam, dan telah menjadi kesepakatan pakar hukum Islam. al-Gazali menjadikan maslahat dapat diterima atau dijadikan dalil hukum Islam dengan memenuhi dua syarat; maslahat sejalan dengan penetapan hukum Islam, dan maslahat tidak bertentangan dengan al-Quran, sunnah dan ijma. Salah satu maslahat yang kontra dengan al-Quran, misalnya dengan pertimbangan maslahat seorang mujtahid menetapkan pembagian waris anak perempuan sama dengan bagian anak laki-laki, menyalahi apa yang telah ditetapkan QS.An-Nisa (4):11. terjemahnya "Allah berwasiat kepadamu bahwa anak laki-laki mendapat dua kali bagian anak perempuan".
Contoh maslahat yang kontra dengan sunnah, misalnya fatwa salah seorang ulama terhadap seorang raja yang berhubungan badan dengan istrinya di siang hari Ramadhan bahwa kafaratnya adalah puasa dua bulan berturut-turut. Dalam teks hadis semestinya kafarat itu berupa memerdekakan hamba sahaya.
Adapun contoh maslahat yang kontra dengan ijma, tentang kebolehan menyita kekayaan konglomerat dengan pertimbangan maslahat menurut Imam Malik, hal ini tidak dapat membenarkan, karena hal semacam itu tidak perna dilakukan oleh para sahabat.
Maslahat menurut al-Gazali dapat dibenarkan, misalnya; Apabila harta benda milik orang telah bercampur baur dengan harta haram karena telah begitu banyak transaksi yang tidak benar, dan bercampurnya harta hasil korupsi, kolusi, manipulasi, penjarahan dan lainnya, sehingga begitu sulit untuk mendapatkan harta yang murni halal, berdasarkan maslahat, boleh/halal bagi penduduk mengambil harta sesuia dengan kebutuhannya lewat transaksi yang halal. Sebab kalau hal itu tidak dibenarkan, lalu lintas kehidupan ekonomi dan kegiatan keagamaan akan macet dan terhenti, dan akan membawa dampak bagi rusaknya kehidupan.(hal ini tidak dibenarkan oleh Islam)
Dengan demikian maslahat al-Gazali adalah maslahat yang sama sekali tidak ditemukan dalilnya di dalam hukum Islam, baik secara umum maupun secara khusus sejalan dan relevan dengan penetapan hukum Islam, maslahat yang sama sekali tidak ditemukan dalilnya dalam syara’ oleh karenanya tidak bisa dikatakan untuk diterima atau ditolak, sedangkan maslahat yang sejalan dan relevan dengan penetapan hukum Islam dan tidak berlawanan dengan nas, sunnah dan ijma’ dapat diterima.
Kitab Asas al-Qiyas
Dasar dan prinsip al-Gazali memelihara tujuan hukum Islam seperti memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda, dengan berada pada tingkatan darurat seperti; keputusan syara’ untuk membunuh orang kafir yang menyesatkan dan memberi hukuman kepada pembuat bid’ah yang mengajak orang lain untuk mengikuti bid’ahnya, hal ini bila dibiarkan akan melenyapkan agama umat, keputusan syara’ mewajibkan qiyas hukuman yang sama dengan kejahatannya sebab dengan hukuman ini jiwa manusia akan terpelihara, Kewajiban hadd karena minum minuman keras, karena dengan sanksi ini akal akan terpelihara. Kewajiban hadd karena berzina sebab dengan sanksi ini keturunan dan nasab akan terpelihara. Kewajiban memberi hukuman kepada para penjarah dan pencuri, sebab dengan sanksi ini harta benda yang menjadi sumber kehidupan manusia itu akan terpelihara.
Menurut penulis, ada beberapa hal perlu dilakukan untuk memposisikan maslahat; pertama, dalam menukil setiap pendapat yang berhubungan maslahat dengan menghimpun sebanyak-banyaknya sumber dan menghilangkan terlebih dahulu sikap apriori, kedua, dalam meneliti pandangan fuqaha dan ushuliyyin harus meneliti metode istimbatnya dan hasil ijtihadnya (fiqhnya), ketiga, perlu keseragaman persepsi tentang rumusan maslahat, sebab adanya ketidak samaan persepsi dalam merumuskan maslahat ternyata merupakan salah satu sebab utama melebarnya silang pendapat, keempat, maslahat itu tidak boleh lepas dari kriteria-kriteria yang disepakati dan tidak lepas dari persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhinya, sebagaimana yang ditekankan oleh al-Gazali, sejalan dengan tindakan syara’, tidak berlawanan al-Quran, sunnah dan Ijma, maslahat itu berstatus qat’i, maslahat itu menempati level daruriyat dan kasus tertentu harus qat’iyat, daruriyat.
Dengan cara di atas, sebagai dalil hukum Islam yang proporsional, sebab dalam kondisi banyak masalah baru muncul yang perlu segera diselesaikan, umat akan banyak mengalami kesulitan kalau kita mengikuti pandangan yang tidak membenarkan maslahat dijadikan dalil untuk mengambil pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam.dan bahkan Islam akan ketinggalan zaman. Contoh maslahat pemerintah dapat menetapkan tentang pajak, KKN, memilih pemimpin, membatasi pendirian partai dan seterusnya, hal ini semua banyak masalah baru yang dapat dipecahkan dan status hukumnya, berarti akan banyak muncul produk hukum yang baru, sesuai dan mengikuti perkembangan zaman.
Kepustakaan:
Hamka Haq, Dialog Pemikiran Islam, Ujungpandang: Yayasan Ahkam, 1995. Al-Gazali., al-Mustasfa min ‘ilm al-Usul, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991. Husain Hamid Hassan, Nazhariyyat al-Mashlahat Fi al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Nahdhat al-Arabiyyat, 1971. Ahmad Munif Suratmaputra. Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar