Skip to main content

Referensi Makalah; Teologi Apovatik

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: December 27, 2011

Salah satu persoalan teologi-mistis yang selalu menggoda untuk dijawab adalah cara mendekati dan mencintai Tuhan. Bagaimana mungkin kita dapat mendekati dan mencintai Tuhan yang tidak diketahui? Bagaimana mungkin Tuhan yang sama sekali berbeda dengan alam dan manusia dapat hadir dalam alam dan manusia?
Bagimana mungkin Tuhan yang transenden terhadap alam dan manusia adalah immanen dalam alam dan manusia? Menurut Thomas Merton (1915-1968), seorang teolog dan mistikus Katolik Roma berkebangsaan Amerika, para teolog mistis menghadapi persoalan ini sebagai persoalan "mengatakan apa yang sesungguhnya tidak dapat dikatakan" (saying what cannot really be said).
Persoalan ini dapat pula dideskripsikan dengan ungkapan-ungkapan paradoksikal lain, seperti membicarakan yang tidak dapat dibicarakan" (speaking of the unspeakable), "mengetahui Tuhan Yang Tidak Dapat Diketahui" (knowing the Unknowable God), "menamai yang tidak dapat dinamai," "menamakan apa yang tidak dapat dinamakan" (naming the unnamable), "mengungkapkan yang tidak dapat diungkapkan" (expressing the inexpressible), "memikirkan yang tidak dapat dipikirkan" (thinking of the unthinkable), "memahami yang tidak dapat dipahami" (comprehending the incomprehensible), "membayangkan yang tidak dapat dibayangkan" (conceiving the unconceivable), dan "melukiskan yang tidak dapat dilukiskan" (describing the indescribable).
Salah satu cara terbaik untuk memecahkan persoalan ini adalah dengan suatu teologi yang disebut "teologi apofatik" (apophatic theology), teologi "tidak mengetahui" (the theology of unknowing), yang melukiskan pengalaman transenden tentang Tuhan dalam cinta sebagai suatu "mengetahui dengan tidak mengetahui" (knowing by unknowing) dan suatu "melihat yang bukan melihat" (seeing that is not seeing).183 Seorang mistikus dan penulis spiritual Inggris abad keempatbelas, penulis anonim The Cloud of Unknowing, adalah salah satu contoh terbaik wakil teologi apofatik karena kecenderungan teologinya itu menekankan bahwa Tuhan paling baik diketahui dengan penegasian: "kita dapat mengetahui lebih banyak tentang apa yang bukan Tuhan ketimbang tentang apa yang adalah Dia" (we can know much more about what God is not than about what He is). Penulis The Cloud of Unknowing itu dengan konstan menggunakan tema paradoksikal "mengetahui" dan "tidak mengetahui."
Menjelang bagian akhir karyanya itu, ia menegaskan intisari pandangan apofatiknya dengan mengutip kata-kata Dionysius orang Areopagus (St. Denis), "Dan karena itu St. Denis berkata, 'Mengetahui yang paling saleh [paling tinggi] akan Tuhan adalah [mengetahui] yang dikenal dengan tidak mengetahui'" (And therefore St. Denis said 'The most godly knowing of God is that which is known by unknowing).
William Johnston, seorang Yesuit, memberikan sebuah komentar yang menarik tentang tema paradoksikal ini. Ia berkata: "Kita mengetahui Tuhan, namun tidak mengetahui-Nya; kita mengetahui-Nya dengan tidak mengetahui; kita mengetahui-Nya dalam kegelapan; kita mengetahui-Nya dengan cinta". Bagi penulis The Cloud of the Unknowing, Tuhan dapat dicintai, tetapi tidak dapat dipikirkan. Meskipun jiwa manusia tidak dapat menembus misteri Tuhan dengan pemahaman rasional, ia dapat bersatu dengan-Nya dengan cinta. "Karena mengapa, Dia (yaitu Tuhan) dapat dicintai dengan baik, tetapi tidak dapat dipikirkan. Dengan cinta Dia dapat dicapai dan dipegang, tetapi dengan pikiran tidak". Menurut mistikus Inggris anonim ini, jika sang hamba mengosongkan pikirannya dari segala sesuatu dan segala gambaran, akan tumbuh dalam kalbunya "getaran buta dari cinta" (the blind stirring of love) yang menembus "awan tidak mengetahui", "awan ketidaktahuan" (The Cloud of Unknowing), yang membawa sang hamba kepada suatu pengetahuan yang suprakonsepsual dan gelap; itulah kebijakan tertinggi.
Indera dan intelek manusia tidak mampu mencapai Tuhan, indera dan intelek harus "dikosongkan" dari semua makhluk dan disucikan supaya Tuhan dapat menuangkan cahaya-Nya ke dalam indera dan intelek itu. Dalam arti ini, indera dan intelek berada dalam kegelapan sempurna dalam hubungan dengan segala ciptaan tetapi pada saat yang sama dipenuhi dengan cahaya dari Tuhan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa "Kegelapan Ilahi" (the Divine Darkness) adalah cahaya yang tidak dapat dihampiri yang dikatakan di dalamnya Tuhan bersemayam". Ketika semua daya dikosongkan dari semua pengetahuan manusiawi, maka berkuasalah dalam jiwa suatu "keheningan mistik" (mystic silence) yang membawanya kepada klimaks, yaitu kesatuan dengan Tuhan dan visi tentang Dia sebagai Dia pada diri-Nya". Pengetahuan seperti ini adalah pengetahuan ilahi tentang Tuhan yang berlangsung dengan "tidak mengetahui" (unknowing) atau "ketidaktahuan" (ignorance), yang berarti bahwa sang hamba harus mencampakkan pengetahuan konsepsual manusiawi untuk menerima pengetahuan anugerah ilahi.
Para mistis, menyerukan agar sang pencari Tuhan melepaskan diri dari persepsi, imaginasi, dugaan, nama, pembahasan, pemahaman, pemikiran, dan segala sesuatu yang membelenggu dan menjauhkannya dari jalan menuju Tuhan, agar sang pencari memasuki "kegelapan ilahi" yang melebihi segala sesuatu dan "mengetahui dengan tidak mengetahui".
Menurut Ibn al-'Arabi, pengetahuan tentang Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan, harus diperoleh dengan "peniadaan pengetahuan". Ini berarti bahwa mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya; pengetahuan positif tentang Tuhan adalah mustahil. Ia berkata: "Orang yang tidak mempunyai pengetahuan membayangkan bahwa ia mengetahui Tuhan, itu tidak betul", karena "pengetahuan kita tentang Tuhan adalah mustahil". "Orang yang mengetahui Tuhan tidak melampaui batas tingkatnya sendiri. Ia mengetahui apa yang ia ketahui bahwa ia adalah salah seorang di antara orang-orang yang tidak mengetahui".
Dengan berkali-kali mengutip perkataan Abu Bakr ra, Ibn al-'Arabi berkata: "Ketidakmampuan mencapai persepsi adalah persepsi" "Ketidakmampuan mencapai pengetahuan adalah pengetahuan". Ungkapan ini melukiskan tingkat tertinggi pengetahuan manusia tentang Tuhan dan segala sesuatu yang gaib yang tidak dapat diketahuinya. Orang yang mengetahui bahwa ia tidak dapat mengetahui Tuhan adalah orang yang secara benar mengetahui-Nya; itulah orang yang bijak. Orang yang menganggap bahwa ia mengetahui Tuhan adalah orang yang tidak mengetahui-Nya; itulah orang yang bodoh. Bukankah Tuhan telah berfirman: "Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya yaitu Tuhan, tetapi Dia mempersepsi semua penglihatan" (Q.,s: al-An'am/6:103)?
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama: Pengantar Psikologi Agama, Jakarta: Leppenas,1982. Psikologi Agama: Bapa, Ibu sebagai Simbol Allah, Yogyakarta dan Jakarta: Gunung Mulia dan Kanisius,1983.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar