Skip to main content

Kaidah-kaidah Ataf dalam al-Quran

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: December 11, 2011

Setelah sebelumnya diuraikan tentang kaidah ‘ataf, kali ini, material makalah akan membahas tentang kaidah ‘ataf yang diberlakukan dalam al-Quran;
Kaidah pertama:
عطف العام على الخاص يدل على التعميم وعلى أهمية الأول
“Mengikutkan kata yang umum kepada yang khusus, itu menunjukkan makna keumuman sekaligus menunjukkan pentingnya kata yang pertama”.
Kaidah ini memberikan sebuah informasi bahwa kata yang khusus pada dasarnya adalah bagian dari kata yang umum. Hanya saja ketika kata yang salah satu bagian dari yang umum tersebut disebutkan terlebih dahulu kemudian diikuti oleh kata yang umum, maka hal tersebut memiliki dua fungsi. Pertama, kata yang umum tersebut menunjukkan makna keumuman. Kedua, karena disebutkannya yang khusus terlebih dahulu maka itu berimplikasi pada makna pentingnya substansi kata yang khusus tersebut.
Kaidah kedua:
عطف الخاص على العام منبه على فضله أو أهميته ، حتى كأنه ليس من جنس العام ، تنزيلا للتغاير في الوصف منزلة التغاير في الذات
“Mengikutkan kata yang khusus kepada kata yang umum memberi arti kelebihan dan kemuliaan kata yang khusus tersebut, sehingga seakan-akan ia tidak termasuk bagian dari yang umum itu karena menempatkan perbedaan sifat pada posisi perbedaan zat”.
Kaidah kedua ini merupakan kebalikan dari kaidah yang pertama, sekalipun ternyata fungsi dari penyebutan tersebut atau kaitannya dengan ‘atf yang ada tetap menunjukkan kelebihan dan keistimewaan kata yang khusus tersebut. Dengan kata lain, penyebutan term khusus setelah term umum itu menunjukkan kelebihan yang dimiliki pada term khusus tersebut. Kaidah ini pun sebenarnya merupakan gambaran dari gaya bahasa orang Arab yang biasanya menyebutkan terlebih dahulu sesuatu secara global yang kemudian diikuti dengan rinciannya sesuai dengan kelebihan yang dimiliki.
kaidah kedua ini terlihat pada QS. Al-Baqarah ayat 238 tersebut.Karena shalat wusta pada dasarnya termasuk salah satu bagian dari al-salawat yang disebutkan sebelumnya. Tetapi ia kemudian disebutkan secara berdiri sendiri untuk mempertegas kemuliaan dan keutamaannya. Baik itu shalat zhuhur, sebagaimana yang di-tarjih oleh al-Qurtubi karena pada saat itu ada kecenderungan untuk lalai melaksanakannya disebabkan oleh panasnya cuaca dan iklim. Begitu pula dengan shalat ashar, sebagaimana yang di-tarjih oleh jumhur ulama karena pada saat itu manusia sibuk mengurusi pekerjaan karena telah berada di akhir waktu kerja.
Kaidah ketiga:
الشيء الواحد إذا ذكر بصفتين مختلفتين جاز عطف إحداهما على الأخرى ، تنزيلا لتغاير الصفات منزلة تغاير الذوات
“Apabila sesuatu disebutkan dengan dua sifat yang berbeda maka boleh meng-‘ataf-kan salah satu sifat tersebut ke sesuatu yang lain, karena menempatkan perbedaan sifat pada posisi perbedaan zat”
Kaidah ini memberikan sebuah informasi bahwa apabila ada sesuatu yang memiliki banyak sifat, maka dalam penyebutan sifat-sifat tersebut terkadang disertai dengan huruf ‘atf terkadang juga tidak. Namun tidak menyebutkan huruf ‘atf-nya itulah yang lebih baik dan lebih fasih, karena dengan menyertakan huruf ‘atf ada indikasi bahwa yang memiliki sifat tersebut (al-mausuf) jumlahnya juga banyak. Hanya saja ketentuan ini bukanlah sebuah kemestian, dengan kata lain bias saja mengatafkan beberapa sifat dengan menyertakan huruf ‘atf pada satu tempat tertentu (al-mausuf wahid). Bahkan terkadang jauh lebih baik menggunakan huruf ‘atf apabila makna dari masing-masing sifat tersebut sangat berbeda.
Adapun contoh dari kaidah tersebut dapat diklasifikasi dalam tiga bentuk, yaitu:
  1. Meng-‘atf-kan dua atau beberapa sifat pada satu tempat disertai dengan perantaraan huruf ‘atf.
  2. Meng-‘ataf-kan dua atau beberapa sifat pada satu tempat disertai dengan tidak menyertakan huruf ‘atf.
  3. Meng-‘ataf-kan dua atau beberapa sifat pada satu tempat disertai dengan perantaraan huruf ‘atf disebabkan oleh perbedaan makna sifat yang sangat berjauhan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Zakiy al-Din Sya’ban, Usul al-Fiqh al-Islami, Mesir: Dar al-Ta’lif, 1965. ‘Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyyah, 1990. Syihab al-Din Mahmud al-Alusi al-Bagdadi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azim wa al-Sab’ al-Masani, Beirut: Ihya al-Turas al-‘Arabi, t.th. Muhammad Fakhr al-Din al-Razi, Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-gaib (Beirut: Dar al-Fikr, 1994. Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurah, al-Jami’ al-Sahih wa Huwa Sunan al-Turmuzi, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th. Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr Syams al-Din al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1964. Wahbah ibn Mustafa al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj (Damsyiq: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1418 H. Jalal al-Din al-Suyuti, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, t.t.: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, t.th. Majma’ al-Maliki Fahd li Taba’ah al-Mushaf al-Syarif, al-Qur’an al-Karim wa Tarjamatu Ma’anihi bi al-Lugah al-Indunisiyah, Madinah al-Munawwarah: t.p., t.th.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar