Skip to main content

Pandangan Teologi tentang Sifat Kemutlakan dan Keadilan Tuhan

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: November 06, 2011

Aliran Jabariyah
Menurut aliran Jabariyah, Tuhan mempunyai Kemahamutlakan terhadap semua makhluk ciptaannya. Khusus kepada manusia, Tuhan menciptakan perbuatannya kepada manusia, sebagaimana halnya gerak yang diciptakan Tuhan terhadap benda-benda mati, seperti matahari terbit, hujan turun, air mengalir dan sebagainya.
Jabariyah ekstrim, sebagaimana yang dipelopori oleh Jaham bin Shafwan, berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk bertindak. Segala perbuatannya ditentukan oleh Tuhan. Manusia itu bagaikan wayang yang digerakkan dalangnya, dan Tuhan-lah yang menjadi dalangnya. Tanpa gerak dari Tuhan, manusia tidak bisa berbuat apa-apa.
Adapun Jabariyah moderat, sebagaimana yang dipelopori oleh al-Husain bin Muhammad al-Najjar, berpendapat bahwa meski Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia (baik atau buruk), tetapi manusia mempunyai andil dalam perwujudan aktivitas tersebut. Jadi, manusia dan Tuhan bekerja sama dalam mewujudkan perbuatan manusia.
Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah merupakan kebalikan dari aliran Jabariyah. Aliran ini berasal dari Abu Yunus Sansaweh, salah seorang penduduk Irak dari agama Kristen yang memeluk Islam, tetapi kemudian murtad kembali. Pemikirannya ini kemudian diikuti oleh Ma’bad al-Juwaini dan Ghailan al-Dimasyqi. Menurut aliran ini, Tuhan tidak mempunyai andil dalam aktivitas manusia, tetapi manusia itu sendirilah yang menciptakan dan menentukan perbuatannya.
Argumen yang diajukan aliran ini, antara lain mengatakan bahwa kebebasan manusia dalam bertindak, erat kaitannya dengan pertanggungjawaban terhadap Tuhan. Tanggung jawab menghendaki kebebasan. Pemberian pahala atau dosa, tentu tidak relevan jika manusia tidak aktif dalam bertindak.
Aliran Muktazilah
Untuk mengetahui lebih jauh pandangan aliran Muktazilah tentang qudrat dan iradat Tuhan, berikut ini akan dikemukakan pemikiran beberapa tokohnya, yaitu:
Washil bin Atha sebagai pembangun aliran Muktazilah berpendapat bahwa, Tuhan tidak mempunyai sifat di luar zat-Nya. Maksudnya bahwa, sifat Tuhan sebagai Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Mengetahui, dan lain-lain melekat pada zat-Nya.
Abu Huzail al-Allaf lebih memperjelas pendapat Washil di atas dengan berpendapat bahwa, Tuhan Maha Mengetahui dan pengetahuan-Nya itu adalah zat-Nya, bukan sifat-Nya. Demikian pula bahwa Tuhan adalah Maha Kuasa dan kekuasaan-Nya itu merupakan zat-Nya, bukan sifat-Nya. Demikian seterusnya. Penekanan ini bertujuan untuk menghindari adanya yang qadim selain Tuhan, sebab jika sifat itu melekat di luar zat Tuhan, maka sifat-Nya itu juag qadim. Apabila terjadi banyak yang qadim, maka akan membawa kepada kumsyrikan.
Abu Ali al-Jubba’i berpendapat bahwa, qudrat Tuhan adalah al-ahwal; sementara al-ahwal tidak ada, tidak diketahui, tidak eternal, dan tidak temporal. Semuanya itu berhubungan dengan zat-Nya, dan karenanya Tuhan Maha Mengetahui dan Maha Kuasa melalui esensi-Nya.
Selanjutnya tentang ‘adalah Tuhan, aliran Muktazilah mempunyai pandangan yang unik. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan pendangan tokoh-tokohnya:
Washil berpendapat bahwa letak keadilan dan kebijaksanaan Tuhan terdapat pada janji dan ancaman-Nya. Tuhan menciptakan daya kepada manusia, dan manusia dalam memanfaatkan daya itu dapat memilih untuk berbuat baik atau buruk. Sebagai konsekuensi dari pertanggungjawaban terhadap perbuatannya, Tuhan menciptakan surga dan neraka.
Untuk melengkapi pendapat Washil di atas, Al-Allaf mengatakan bahwa Allah selalu melakukan yang terbaik dan berbuat adil terhadap manusia. Meski Ia mampu melakukan hal-hal yang tidak baik, tetapi mustahil akan melakukan-Nya. Dengan demikian, kelaliman dan ketidakadilan yang terjadi di dunia ini hanyalah perbuatan manusia, bukan perbuatan Tuhan.
Apa yang dikemukakan oleh al-Allaf di atas semakin dipertegas oleh Ishaq Ibrahim Sayyar al-Nazhzham bahwa Tuhan bukan hanya mustahil berbuat lalim terhadap hamba-Nya, bahkan Tuhan tidak akan mempu melakukan hal tersebut. Yang melakukan kezaliman dan ketidakadilan hanyalah orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan tersebut.
Dari pandangan beberapa tokoh seperti yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa aliran Muktazilah meniadakan sifat Tuhan. Kedudukan Tuhan sebagai Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Mengetahui, dan sebagainya, semuanya melekat pada zat-Nya bukan pada sifat-Nya.
Mengenai qudrat dan ‘adalah Tuhan, menurut aliran Muktazilah, kedua hal itu tidak dapat dipisahkan. Sunnatullah (hukum alam) yang diciptakan oleh Tuhan bertujuan untuk membatasi ke-Mahakuasaan-Nya di atas dunia ini.
Selanjutnya, mengenai perbuatan manusia, aliran Muktazilah lebih condong atau mirip dengan konsep paham Qadariyah, yakni manusia bebas berbuat (yang baik atau buruk). Dari hasil perbuatannya itu, Tuhan tidak akan mungkin atau bahkan tidak mampu berbuat aniaya dalam membalas tingkah laku hamba-Nya itu, sebagai konsekuensi dari keadilan Tuhan.
Aliran Asy'ariyah
Aliran Asy'ariyah adalah aliran yang mempunyai pandangan yang berbeda dengan Muktazilah dalam masalah qudrat, iradat dan ‘adalah Tuhan. Hal tersebut akan terlihat pada pandangan tokoh-tokohnya berikut ini:
Abu Hasan al-Asy’ari sebagai pendiri aliran Asy'ariyah memandang bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat yang eternal dan abadi. Sifat-sifat itu diteguhkan sebagaimana adanya, misalnya al-‘ilmu (Maha Tahu), al-qudrah (Maha Kuasa), al-hayah (Maha Hidup), dan sebagainya. Dalam kaitannya sifat qudrat-Nya, Allah mempunyai kekuatan untuk berbuat dan tidak berbuat. Ia dapat bertindak semaunya terhadap makhluknya, misalnya memasukkan ke surga orang kafir dan sebaliknya. Hal tersebut tidak bertentangan dengan sifatnya sebagai al-‘adil (Maha Adil).
Sifat Tuhan itu adalah hal. Misalnya Tuhan Maha Kuasa bukan karena sifat-Nya, tetapi keadaan Tuhan itu sendiri sebagai Maha Kuasa. Lebih lanjut al-Baqillani mengatakan bahwa perbuatan manusia manusia tidak semata hanya qudrah Tuhan, tetapi ada juga perbuatan yang berdasarkan pilihan manusia. Karenanya, kasb (daya) bagi manusia mempunyai efek, meskipun tidak seluruhnya sebagaimana pandangan Qadariyah dan Muktazilah.
Al-Juwaini mempunyai pandangan tersendiri, ia berpendapat bahwa sifat-sifat Tuhan dapat dkelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) sifat nafsiyyah, yaitu sifat itsbat bagi zatyang selalu ada selama zat itu ada, misalnya qadim, baqa’, qiyamuh bi nafsih, mukhalafah li al-hawadits, dan wahdaniyyah, (2) sifat ma’nawiyah, yaitu sifat yang ada karena sesuatu yang ‘illat pada zat, misalnya qudrah, murid, dan sebagainya.Lebih lanjut ia mengatakan bahwa daya (kasb) bagi manusia mempunyai efek yang terdapat antara sebab dan musabab.
Wujud perbuatannya bergantung pada daya dan daya itu bergantung pada sebab lain, yaitu Tuhan. Setelah melihat adanya penyimpangan dari kedua tokoh di atas (al-Baqillani dan al-Juwaini), maka Abu Hamid al-Ghazali bangkit dan megembalikan paham Asy'ariyah sebagaimana adanya. Jadi, pemikiran-pemikirannya tidak berbeda dengan paham Abu Hasan al-Asy’ari, baik mengenai sifat-sifat Tuhan maupun tenang perbuatan manusia.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pada prinsipnya aliran Asy’ariyah mengakui adanya sifat-sifat Tuhan yang qadim, meskipun ada perbedaan pandangan di kalangan tokohnya mengenai apakah sifat-sifat itu merupakan hal atau eternal. Pandangan ini sangat bertentangan dengan konsep Muktazilah yang meniadakan sifat-sifat Tuhan.
Demikian pula tentang perbuatan manusia yang tidak terlepas dari qudrah Tuhan, yakni daya manusia mempunyai efek dalam melakukan perbuatannya, tetapi daya itu sangat kecil jika dibandingkan dengan daya Tuhan. Pandangan ini juga bertentangan paham Qadariyah dan Muktazilah yang menyatakan bahwa perbuatan manusia terlepas dari qudrah Tuhan. Meskipun demikian, paham Asy’ariyah juga tidak sama dengan paham Jabariyah yang menyatakan bahwa daya manusia sama sekali tidak ada efeknya dalam melakukan perbuatannya. Oleh karena itu, paham Asy’ariyah merupakan sintesis atau mutawassithah yang berada di antara paham Qadariyah dan Jabariyah.
Aliran Maturidiyah
Tercatat dalam sejarah pemikiran bahwa aliran Maturidiyah terbagi atas dua, yaitu Maturidiyah Bukhara dan Maturidiyah Samarkand. Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan perbedaan antara kedua Maturidiyah tersebut.
Maturidiyah Bukhara mempunyai pemikiran yang lebih dekat dengan paham Asy’ariyah tentang kekuasaan Tuhan, yakni Tuhan mempunyai qudrah terhadap hamba-Nya. Maskipun demikian, kedekatan itu tidak menunjukkan kesamaan persis, sebab dalam beberapa hal mempunyai perbedaan. Paham Asy’ariyah menganggap bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap hamba-Nya, sedangkan bagi Maturidiyah Bukhara kekuasaan Tuhan itu mempunyai batas-batas tertentu.
Dalam hal perbuatan manusia misalnya, al-Bazdawi (tokoh Maturidiyah Bukhara) berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan, bukan ciptaan manusia, tetapi manusialah yang melakukannya, bukan Tuhan.
Maturidiyah Samarkand mempunyai paham yang lebih dekat dengan paham Muktazilah. Namun dalam hal konsep kekuasaan Tuhan, Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa dalam perbuatan manusia terdapat dua unsur, yaitu perbuatan Tuhan (khalq al-istitha’ah) dan perbuatan manusia (isti’mal al-istitha’ah). Istitha’ah bagi Muktazilah ada sebelum perbuatan dilaksanakan, sedangkan bagi Maturidiyah Samarkand ada pada saat perbuatan dilaksanakan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kalau aliran Asy’ariyah merupakan sintesis antara paham Qadariyah dengan Jabariyah, dalam hal qudrah Tuhan terhadap perbuatan manusia, maka aliran Maturidiyah adalah sintesis antara paham Muktazilah dengan paham Asy’ariyah.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986). Umar Hasyim, Apakah anda termasuk Golongan Ahlus Sunnah wal-Jama’ah, (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1978). Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia menurut Qur’an (Kajian Tafsir Tematik), (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). Mushthafa al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah wa Nasy’ah ‘Ilm al-Kalam ‘Inda al-Muslimin, (Mesir: Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali Shubaih wa Auladuh, 1958). M.Quraish Shihab (ed), Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT.Ichtiar Baru-wan Hoeve, 1994). Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1996). Muhammad bin ‘Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Kairo: Muassasah al-Halabi, 1968). Ibrahim Madkur, fi Falsafah al-Islamiyyah, Manhaj wa Tathbiquh, diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan judul “Aliran dan Teologi Filsafat Islam”, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995). Al-Baqillani, Kitab Tamhid al-Awa’il wa al-Talkhish al-Dalail, (Bairut: Muassasah al-Tsaqafiyyah, 1369). H. Hamka Haq, Dialog Pemikiran Islam (Tradisionalisme, Rasionalisme, Empirisme, dalam Teologi, Filsafat dan Ushul Fikih), (Ujungpandang: Yayasan Ahkam, 1995).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar