Skip to main content

Material Makalah; Hadis tentang Nepotisme

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: November 06, 2011

Nepotisme berarti kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dijabatan, pangkat di lingkungan pemerintah.
Penyelenggaran kekuasaan dengan unsur nepotisme, telah diprediksi oleh Nabi saw, sebagaimana dalam sebuah teks hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ رَضِي اللَّهم عَنْهممْ أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي كَمَا اسْتَعْمَلْتَ فُلَانًا قَالَ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أُثْرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ
Muhammad bin Basysyar menceritakan kepada kami, berkata; Gundar menceritakan kepada kami, berkata: Syu’bah menceritakan kepad kami, berkata: Saya mendengar Qatadah, berkata; dari Anas bin Malik, berkata; dari Usaid bin Hudhair yang kesemuanya periwayat ini (semoga) diridhai Allah swt, berkata: bahwa seorang laki-laki dari kaum Anshar berkata: Ya Rasulullah, tidakkah engkau angkat si Fulan? Rasul menjawab : kalian akan menjumpai sepeninggalku tindakan mengutamakan kepentingan sendiri (sikap nepotisme), maka bersabarlah kalian sampai bertemu dengan ku di telaga al-kawstar (di hari kiamat).
Ungkapan ألا تستعملنى merupakan pernyataan sekaligus pertanyaan Usaid bin Hudhair terhadap Rasul, yang berharap agar dia dijadikan sebagai amil (pegawai) yang mengurusi zakat, ataukah diangkat sebagai gubernur pada suatu daerah. Keinginan Usaid tersebut didasari kenyataan bahwasanya Rasul telah mengangkat orang-orang tertentu untuk tugas tersebut seperti halnya ‘Amir bin Ash, sebagaimana yang dimaksudkan dari ungkapan كما استعملت فلانا .
Terhadap permintaan Usaid tersebut, secara arif Rasul menanggapinya dengan ungkapan انكم ستلقون بعد اثرة . Penulis berasumsi, jawaban Rasul tersebut dimaksudkan untuk menolak permintaan Usaid itu secara halus berdasarkan pertimbangan tertentu beliau. Tampaknya permintaan tersebut dikemukakan Usaid di hadapan orang banyak, terbukti dengan jawaban yang diberikan Rasul menggunakan frase إنكم dan فاصبروا . Dengan demikian, pernyataan tersebut tidak hanya ditujukan khusus kepada Usaid, tetapi bersifat umum.
Nabi saw secara arif dan sadar ingin menanamkan kesadaran kepada sahabatnya bahwa ada masanya nanti setelah beliau telah tiada, terjadi praktek nepotisme yang dilakukan oleh para pejabat yang diserahi amanah dan tanggung jawab terhadapnya.
Mengenai kata أثرة berasal dari akar kata اثر yang berarti bekas dan dapat pula berarti kecenderungan. Dalam konteks hadis tersebut, menurut Abu Ubaid, أثرة berarti mementingkan diri sendiri dalam hal pembagian fa’i. Pengertian ini dikuatkan oleh al-Kirmaniy yang mengartikan أثرة dengan sikap penguasa yang selalu mengutamakan dirinya dan keluarganya dalam mendapatkan keuntungan duniawi. Dalam konteks kekinian, kecenderungan sikap seperti itu identik dengan nepotisme.
Menghadapi realitas hidup seperti itu secara bijak Nabi saw menyeru bersabar. Muhammad Abu Bakar al-Raziy mengartikan sabar dengan menahan diri (nafsu) dari keluh kesah. Sedangkan Muhammad Farid Wajdi men-definisikan dengan sikap meninggalkan keluhan atau pengaduan selain kepada Allah swt.
Berdasar pada keterangan di atas, maka dipahami bahwa nepotisme sesuai dengan pengertiannya, bertujuan “mengawetkan” atau dalam batas-batas tertentu “memaksakan” kehendak dan kepentingan untuk “merajai” kekuasaan (politik) dan penguasaan ekonomi (bisnis), sehingga salah satu dampaknya adalah praktik monopoli dan brokenisasi yang didominasi oleh keluarga atau orang-orang dekat tertentu. Sehingga Nabi saw menyarankan agar menghadapi suasana demikian, haruslah disertai kesabaran.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2000. Ibn Hajar al-Asqlani, fath al-Bariy bi Syarh Shahih al-Bukhari, juz VII t.tp: Dar al-Fikr wa Maktabah al-Salafiyah, t.th. Badr al-Din Abu Muhammad bin Ahmad al-‘Ayniy, Umdah al-Qari’ Syarh Shahih al-Bukhari, jilid VIII Beirut: Muhammad Amin Damaj, t.th. Abu al-Ula Muhammad bin Abd al-Rahman al-Mubarakfuri, Muqaddimah Tuhfah al-Ahwaziy bi Syarh Jami al-Turmuziy, juz VI Beirut: Dar al-Fikr, 1979. Muhammad Abu Bakar al-Raziy, Mukhtar al-Sihhah, Beirut: Dar al-Fikr, 1991. Muhammad Farid Wajdi, Dairah al-Ma’arif al-Qarn al-Isyrin, jilid V Beirut: Dar al-Fikr, 1979. Al-Nawawy, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar