Skip to main content

Latarbelakang Qadariyah dan Tuduhan Qadariyah sebagai Warisan Nasrani

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: October 06, 2011

Dalam pengertian bahasa, Qadariyah berasal dari kata Bahasa Arab "qadara" yang mempunyai beberapa arti, yaitu kuasa atau mampu, memuliakan atau mulia, ketentuan atau ukuran dan menyempitkan. Lafadz qadara yang memiliki arti kuasa atau mampu sebagaimana disebutkan dalam ayat 264 surat al-Baqarah:
“Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”.
Menurut istilah, Qadariyah adalah kelompok yang menolak qadar (ketetapan Tuhan), dengan kata lain kelompok yang tidak percaya adanya ketetapan Tuhan terhadap segala urusan/perkara. Tegasnya, mereka menolak kepercayaan bahwa Allah swt telah menetapkan segala urusan sebelum diciptakan. 

Dalam tinjauan filosofis Manusia bebas dan merdeka menentukan nasib perjalanan hidupnya, menjadi bahagia atau sengsara, jadi orang sesat atau mendapat hidayah, memilih surga atau neraka. Menurut aliran ini, tiap-tiap hamba Allah adalah pencipta bagi segala perbuatannya; dia dapat berbuat segala sesuatu atau meninggalkan atas kehendaknya sendiri.
Dalam ”Tarikhu al-Fikri al-Falsafi fi al-Islam”, dikemukakan senada dengan ungkapan di atas bahwa aliran Qadariyah adalah golongan yang berpegang pada kebebasan manusia memilih dalam tindakannya dan merdeka dalam berkehendak. Pemberian nama Qadariyah bagi golongan ini, menarik dikaji. Menyebut mereka dengan julukan Qadariyah, ternyata pengikut qadariyah sendiri tidak setuju dengan nama itu. 

Sebagian tokoh ilmu Kalam mereka berkata; Gelar qadariyah tidak pantas bagi kami, karena kami menolak adanya qadar. Justru kelompok yang percaya dan menetapkan adanya qadarlah yang paling berhak memakai nama itu. Maksud mereka, golongan Jabariyahlah, yang percaya penuh pada qadar Allah swt berhak menyandang nama itu.
Mengapa mereka dijuluki aliran Qadariyah?. Sebagian besar berpendapat asal-usul nama Qadariyah menjadi nama bagi golongan ini, karena mereka menolak adanya qadar Tuhan dan menetapkan qadar/kemampuan bagi mereka. Sebagian lain berkata, tidak ada larangan menamai sesuatu dengan menggunakan nama yang bertentangan dengan isi nama itu sendiri.
Pelajaran yang dapat kita petik dari sini adalah bahwa ternyata pemberian nama pada sebuah kelompok ada kalanya bukan oleh kelompok itu sendiri, tetapi golongan atau kelompok lainlah yang menjuluki. 

Pemberian nama kelompok oleh kelompok lain, terdapat kemungkinan subyektifitas kelompok tertentu karena kepentingan dan ambisi, yang hanya dapat diketahui atau mungkin tidak diketahui sehingga menjadi noda sejarah. Hanya peneliti dan fakar sejarah yang jujur dapat menguak tabir ini. Hal ini mengandung makna sebuah nama belum tentu mewakili isi dan konsep nama itu.
Peneliti dan pakar sejarah yang ‘berani’ menjuluki nama tertentu setelah mengetahui latar belakang, isi dan konsep nama tersebut. Seperti inilah sebagian nama-nama kelompok yang kita ketahui hari ini. Meskipun tidak seluruhnya demikian. Termasuk diantaranya adalah penamaan Muktazilah, Murjiah, dll.
Ibnu Taimiyah mengemukakan sejarah timbul paham ini, Qadariyah muncul sebelum paham Jabariyah. Paham Qadariyah muncul pada periode terakhir sahabat, yaitu ketika timbul perdebatan tentang qadar/ketetapan Tuhan. Penolakan terhadap qadar ini, para ulama salaf dan para imam telah membantah pendirian kaum qadariyah, jabariyyah, dan bid’ah-bid’ah kedua golongan ini.
Menurut Ibnu Nabatah, seorang ahli penulis kitab ”Syahral ‘uyun” mengatakan bahwa orang yang mula-mula mengembangkan paham Qadariyah adalah seorang penduduk Irak. Pada mulanya, ia seorang Nasrani kemudian masuk Islam dan akhirnya menjadi Nasrani lagi. 

Dari orang inilah Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqiy mengambil paham Qadariyah. Dapat dipahami bahwa pengaruh keyakinan masehi-an mempengaruhi munculnya aliran ini karena pada masa itu, kaum muslimin bersentuhan langsung dengan dengan penganut Agama Yahudi dan Nasrani. Termasuk didalamnya, pada periode ini muncunya pengaruh penafsiran Israiliyat terhadap ayat-ayat Al-Quran.
Senada dua pendapat di atas, Abu Zahrah lebih cenderung tidak merinci dan tidak memastikan asal, timbul dan berkembangnya paham Qadariyah. Abu Zahrah berkata; 
Para ahli sejarah pemikiran Islam mencoba meneliti dan mengkaji lebih jauh mengenai siapakah sebenarnya yang pertama kali mengajarkan paham ini, di daerah mana timbul dan berkembang. Pendapat kami, pemikiran yang dikemukakan dalam hal kelompok dan berkembangnya paham Qadariyah sangat sulit memastikan secara meyakinkan. Hanya saja pedoman umum yang dapat dijadikan pegangan adalah bahwa Basrah dan Iraklah tempat timbulnya dan berkembangnya paham Qadariyah.
Abu Zahrah, selanjutnya berkata: Kaum muslimin pada akhir masa Khulafa al-Rasyidin dan masa pemerintahan Muawiyah ramai membicarakan masalah Qadha dan Qadar. Sekelompok umat Islam sangat berlebihan dalam meniadakan hak memilih bagi manusia, mereka adalah kaum Jabariyah. Sedangkan kaum Qadariyah juga sangat berlebihan dengan pendapatnya bahwa semua perbuatan manusia adalah murni keinginan manusia yang terlepas dari keinginan atau kehendak Tuhan.
Para ahli sejarah hampir sepakat bahwa Ma’bad al-Juhani adalah orang yang pertama kali di kalangan kaum muslimin menyampaikan paham yang menafikan qadar dan kekuasaan ketuhanan, dan ini terjadi pada masa akhir periode sahabat. Belakangan diketahui paham Muktazilah dengan paham kebebasannya yang terhimpun dalam Ushul al-Khamsah-nya sangat dipengaruhi paham Ma’bad ini.
Imam al-Zahabi menulis tentang tokoh utama aliran Qadariyah ini mengemukakan; Ma’bad al-Juhani adalah seorang tabi’in yang baik, tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abdur Rahman bin Al-Asy`as, gubernur Sajistan dalam menentang Bani Umayyah. Dalam pertempuran dengan Al-Hajjaj, Ma’bad mati terbunuh pada tahun 80 H.
Berdasarkan sejarah, aliran Qadariyah pada hakikatnya adalah sebagian dari paham Muktazilah, karena imam-imamnya terdiri dari orang-orang Muktazilah. Akan tetapi paham ini dibicarakan dalam suatu bagian tersendiri karena sepanjang sejarahnya persoalan Qadariyah ini merupakan suatu persoalan besar, yang pembahasannya terdapat dalam berbagai literatur sejarah Ilmu Kalam. 

Adapun paham Qadariyah menurut Muktazilah adalah bahwa semua perbuatan manusia adalah diciptakan oleh manusia sendiri, bukan oleh Allah swt. Allah swt tidak mempunyai hubungan dengan perbuatan dan pekerjaan manusia sebelumnya, tetapi setelah dilakukan atau diperbuat manusia barulah Allah swt mengetahuinya. Jadi Allah pada saat sekarang tidak bekerja lagi karena kodrat-Nya telah diberikannya kepada manusia dan Ia hanya melihat dan memperhatikan apa saja yang diperbuat manusia.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa Aliran Qadariyah merupakan paham masehi-an tetapi setelah dipungut oleh penganut Agama Islam, tegasnya, Ma’bad al-Juhani dan pengikut dan tokoh-tokohnya lalu dicarikan pembenaran didalam kitab suci al-Quran. Padahal al-Quran berlepas diri dari penyimpangan itu.  
Referensi Makalah®

Kepustakaan:
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, Dar fikr, juz 2. al-Fairuz Abadiy, al-Qamus al-Muhith,  pada kata qadara. Dikutip dari CD maktabah al-Ma’arif al-Islamiyah edisi kedua. Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, Jakarta PT. Ichtiar Baru Van Hoeve 2003. Muhammad Ali Abu Rayyan, Tarikhu al-Fikri al-Falsafi fi al-Islam, Darul Ma`’rifah al-Jami`’iyyah 1996. Muhammad Abu Zahrah, Tarikhu al-Mazahibi  al- Islamiyyah, Darul fikr Arabiy. Imam Asy-Syihristani, Al-Milal wa al-Nihal, diterjemahkan Aswadie Syukur LC, PT Bina Ilmu. Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Mizan Bandung:1996. Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur`an,  Rajagrafindo Persada,  Jakarta, 1998. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Syifa`ul alil Fi Masa`ail Qadha Wal Qal Qadar Wal Hikmah Wat Ta`lil diterjenahkan Abd Gaffar, Qadha dan Qadar Ulasan Tuntas Masalah Takdir, PT Pustaka Azzam 2004. Ibnu Taimiyah, Majmu` Fatawa,Darul Fikr Beirut jili VIII. Mahmud Abd al-Raziq, Mafhum al-Qadr wa al-Hurriyah inda Awa’il al-Shufiyah. Dikutip dari CD. al-Maktabah al-Syamilah Edisi kedua. Imam Asy-Syihristani, Al-Milal Wan-Nihal, diterjemahkan Aswadie Syukur LC, Bina Ilmu. Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta Universitas Indonesia, 1986.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar