Skip to main content

Pendekatan Sosiologis dalam Metodologi Penelitian Sosial dan Agama

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: October 12, 2011

Penelitian agama seringkali tertarik untuk melihat, memaparkan dan menjelaskan berbagai fenomena keagamaan. Juga kadang-kadang tertarik melihat dan menggambarkan pengaruh suatu fenomena terhadap fenomena lain. Untuk menggambarkan fenomena sosial keagamaan dengan baik, maka peneliti dapat menggunakan pendekatan sosiologis.
Pengertian pendekatan secara leksikal adalah proses, perbuatan, cara mendekati atau metode-metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian. Sosiologi mengenai sosiologi. Definisi sosiologi secara luas ialah ilmu tentang masyarakat dan gejala-gejala mengenai masyarakat. Sosiologi seperti ini disebut makro sosiologi yaitu ilmu tentang gejala-gejala sosial, institusi-institusi sosial dan pengaruhnya terhadap masyarakat.
Secara sempit sosiologi didefinisikan sebagai ilmu tentang perilaku sosial ditinjau dari kecenderungan individu-individu dengan individu lain dengan memperhatikan simbol-simbol interaksi. Jadi yang dimaksud dengan pendekatan sosiologis ialah: sebuah pendekatan dimana peneliti menggunakan logika-logika dan teori-teori sosiologi baik teori klasik maupun modern untuk menggambarkan fenomena sosial keagamaan.
Dalam displin ilmu sosiologi agama, terdapat berbagai logika teoritis (pendekatan) yang dikembangkan sebagai perspektif utama sosiologi yang seringkali digunakan sebagai landasan dalam melihat fenomena keagamaan di masyarakat. Di antara pendekatan itu yaitu: perspektif fungsionalis, pertukaran, interaksionisme simbolik, konflik, teori penyadaran dan ketergantungan. Masing-masing perspektif itu memiliki karakteristik sendiri-sendiri bahkan bisa jadi penggunaan perspektif yang berbeda dalam melihat suatu fenomena keagamaan akan menghasilkan suatu hasil yang saling bertentangan. Pembahasan berikut ini akan memaparkan bagaimana keempat perspektif tersebut dalam melihat fenomena keagamaan yang terjadi di masyarakat.
1. Fungsionalisme
Teori fungsionalisme disebut juga teori strukturalisme fungsional. Fungsionalisme merupakan teori yang menekankan bahwa unsur-unsur di dalam suatu masyarakat atau kebudayaan itu saling bergantung dan menjadi kesatuan yang berfungsi sebagai doktrin atau ajaran yang menekankan manfaat kepraktisan atau hubungan fungsional.
Durkheim tertarik kepada unsur-unsur solidaritas masyarakat. Dia mencari prinsip yang mempertalikan anggota masyarakat. Ia menyatakan agama harus mempunyai fungsi, agama bukan ilusi, tetapi merupakan fakta sosial yang dapat diidentifikasi dan mempunyai kepentingan sosial, bagi Durkheim agama memainkan peranan yang fungsional, karena agama adalah prinsip solidaritas masyarakat.
2. Konflik
Tidak ada seorang sosiolog pun yang menyangkal bahwa perspektif konflik dalam kajian sosiologi bersumber pada ide-ide yang dilontarkan oleh Kal Marx seputar masalah perjuangan kelas. Kemudian diikuti tokoh-tokoh lain yang ikut memberikan kontribusi besar dalam membangun atau memantapkan teori konflik antara lain Charles Darwin, Vifredo Pareto dan Ralf Dahredorf. Kata konflik diartikan sebagai percekcokan, perselisihan atau pertentangan, teori konflik ini mengasumsikan bahwa masyarakat terdiri dari kelompok yang memiliki kepentingan satu sama lain. Mereka selalu bersaing untuk mewujudkan hasrat dan kepentingan mereka. Sehingga seringkali bermuara pada terjadinya konflik antara satu komunitas masyarakat dengan komunitas lain.
Berlawanan dengan perspektif fungsional yang melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu keseimbangan yang mantap, para penganut perspektif konflik berpandangan bahwa masyarakat berada dalam konflik dan pertentangan dipandang sebagai determinan utama alam pengorganisasian kehidupan sosial sehingga struktur dasar masyarakat sangat ditentukan oleh upaya-upaya yang dilakukan berbagai individu dan kelompok untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas yang akan memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka.
Menurut Lewis Coser, ketika terjadi konflik antara satu komunitas dengan komunitas lain, hubungan di antara anggota komunitas cenderung integratife, sekalipun sebelumnya terjadi konflik. Sebaliknya jika tidak ada konflik antar komunitas, terdapat kecenderungan diistegrasi. Tidak ada rasa senasib, rasa bersama, dan solidaritas antar anggota.
3. Interaksionisme Simbolik
Manusia pada intinya senang dengan simbil-simbol. Bila di suatu tempat tumbuh dan berkembang komunitas, pada saat yang sama akan tumbuh simbol-simbol yang dipahami bersama. Simbol diwujudkan dalam bentuk bahasa baik verbal maupun isyarat, budaya, seni dan lain-lain. Ritus keagamaan dalam perspektif ini dipandang sebagai simbol yang menjadi ciri khas sebuah komunitas.
Masing-masing komunitas memiliki perangkat simbol. Karena itu, antara suatu komunitas dengan komunitas lain atau antara anggota komunitas dengan anggota lainnya akan terjadi interaksi, satu sama lain menunjukkan simbol yang mereka miliki. Karena itu, perspektif ini disebut interaksionisme simbolik. Struktur dan realitas sosial terbentuk akibat adanya interaksi simbol. Cara-cara keberagamaan seseorang terbentuk akibat interaksi simbol.
4. Pertukaran
Salah satu yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena sosial keagamaan, seperti perubahan dan perilaku sosial ialah teori pertukaran. Menurut teori pertukaran tiada lain ialah melakukan pertukaran yang saling menguntungkan satu sama lain. Menurut perspektif pertukaran, manusia selalu melakukan transaksi sosial yang saling menguntungkan, baik keuntungan materi maupun non materi.
Teori pertukaran dapat dijadikan pendekatan untuk menganalisis realitas dan perubahan sosial. Keberadaan suatu komunitas dalam berhubungan dengan komunitas lain atau hubungan antara dalam suatu komunitas akan berlangsung sampai pada suatu titik dimana satu sama lain merasa puas. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam sebuah komunitas muslim dapat dipandang dari perspektif pertukaran.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama Pendekatan Teori dan Praktek , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka.Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat Pendekatan Sosiologi Agama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT. Rineka Cipa, 1990.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar