Skip to main content

Pemahaman Sayid Qutub tentang Nasakh dalam al-Quran

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: October 14, 2011

Masalah Nasakh dan atau nāsikh wa al-mansūkh di kalangan mufassir merupakan wacana kontroversial yang berkepanjangan. Hal ini terjadi karena pengertian nāsikh yang berkembangan di kalangan mereka adalah dalam makna “yang menghapus” dan mansūkh adalah “yang dihapus”. Maksudnya, bahwa di dalam al-Quran ada ayat yang menghapuskan makna ayat yang lain.
Dalam berbagai definisi, ditemukan pengertian yang umum dipahami oleh mufassir bahwa nasakh secara etimologis adalah “إزالت الشيئ و الحلول محلّة” (menghapuskan sesuatu untuk kemudian menempati posisinya), dan secara terminologis, nasakh adalah رفع الحكم الشرعى بدليل شرعى متراخى Kata raf’ yang dimaksud di sini adalah “mengangkat” atau “menghapus”, dan al-hukm mengindikasikan bahwa yang dihapus itu adalah ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum syara’ (al-syar’iy). Kata bidalīl syar’iy, kembali membatasiu bahwa nasakh hanya terjadi dengan dalil syara’, sehingga alasan-alasan rasional, adat budaya atai lainnya, tidak bisa dijadikan nāsikh. Sedangkan kata mutarākh memberikan keterangan bahwa nasakh hanya bisa dilakukan dengan dalil syara’ yang datangnya lebih belakangan terhadap dalil yang datangnya lebih dahulu.
Dari uraian di atas, maka Nasakh bisa diartikan dengan penghapusan suatu hukum syara’ oleh (dengan) dalil syara’ yang secara kronologis turun lebih terkemudian ketika antara keduanya terdapat pesan hukum yang bertentangan yang tidak bisa dikompromikan. Inilah yang kemudian disebut teori naskh.
Para mufassir sependapat bahwa dasar keabsahan nasakh, sepenuhnya merujuk pada QS. al-Baqarah: 2/106,
مَا نَنْسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Terjemahnya: Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?.
Mufassir semisal Ibn katśīr memahami klausa mā nanskah min āyah dengan mā mubadil min āyah (ayat yang Kami gantikan), dan kebanyakan ulama lainnya mengartikan klausa tersebut adalah al-izhāb ‘an al-‘ayn (meng-hilangkan dari penampakan). Dua batasan nasakh ini, sangat berbeda dengan arti “menghapuskan” sebagaimana dipahami kebanyakan mufassir.
Dari berbagai ragam tentang teori dan definisi “nasikh mansukh”, serta pemahaman mufassir terhadapnya, justeru Sayid Qutub dalam memahami teori nasakh tersebut sangat berbeda dengan pemahaman mufassir yang telah diurai-kan. Sayid Qutub dalam hal ini, tidak memahami Nasakh sebagai “penghapus” dan “pengganti” hukum, juga bukan “menghilangkan dari penampakan”, tetapi Sayid Qutub memahami bahwa naksh dalam klausa “mā nansakh min āyah” dengan وسواء كانت المناسبة هي مناسبة تحويل القبلة (naskh adalah disamakan dengan al-munāsabah, yakni hubungan erat dengan perubahan yang telah terjadi terlebih dahulu).
Lebih lanjut Sayid Qutub menjelaskan secara komprehensif bahwa yang dimaksud naksh adalah keterkaitan siyāq (susunan kata) ayat yang turun sebelumnya dengan ayat yang datang sesudahnya, terutama jika hal itu terkait untuk meluruskan urusan-urusan syariat dan sebagai pembebanan hukum yang telah mentradisi di kalangan masyarakat muslim. Naskh juga boleh berarti perbaikan khusus sebagian hukum-hukum yang termaktub dalam taurat karena datangnya kebenaran hukum yang dibawa Al-Quran sebagai penyempurna hukum-hukum taurat. Kesemuanya ini, memiliki aspek keterkaitan dan atau korelasi (munasabah) dalam upaya memperkuat akidah, karena al-Quran di sini adalah sebagai penjelas yang akurat, dan inilah disebut dengan teori naskh dan di dalamnya mengandung makna meluruskan hukum.
Dalam mengakhiri uraiannya tentang nasakh, Sayid Qutub dengan bahasa sastranya mengilustrasikan bahwa nasakh ayat yang disampaikan (diwahyukan), tidak hanya terjadi pada hukum syara’, tetapi juga pada hukum alam yang telah terlupakan, sehingga ayat-ayat yang dibaca itu mengandung bagian hukum dari hukum-hukum yang telah ada, sebagai tanda dan ke-istimewaan adanya keterkaitan seperti kemukjizatan para rasul terdahulu, karena itu didatangkanlah ayat yang lebih baik daripadanya. Dari sini dapat dipahami bahwa, suatu ayat dalam al-Quran mungkin di-nasakh dimensi hukum-nya, tetapi tidak dari segi kemukjizatannya. Sebagai contohnya adalah, kehadiran para nabi tidak terlepas dari kemaslahan yang melingkupi mereka masing-masing. Diutusnya seorang nabi, ketika nabi lain telah tiada (telah di-nasakh), mem-berikan pengertian bahwa kehadiran nabi yang telah tiada (mansūkh) itu bukan dibatalkan oleh ayat. Demikian juga kehadiran nabi yang baru (nāsikh), bukan berarti membatalkan nabi yang telah lalu. Dalam konteks seperti inilah, maka dalam pemahaman Sayid Qutub tentang nasakh adalah, bahwa ayat-ayat al-Quran tidak ada yang “membatalkan” kehadiran ayat yang telah lalu, tetapi hanya sebagai ta’dil yakni peralihan atau pergantian sebagian perintah ataupun ketentuan hukum seiring perkembangan masyarakat muslim.
Menurut Sayyid Qutub bahwa, adanya pergantian sebagian ketentuan hukum demikian pada risalah tentu saja untuk kepentingan kemaslahatan manusia, serta untuk merealisasikan kebaikan yang jauh lebih besar sesuai tuntutan perkembangan masyarakat. Terkait dengan pandangan Sayyid Qutub tentang konsep nasakh tersebut sebagaimana yang disinggung dalam masalah risalah atau kenabian, bisa dipahami bahwa Tuhan sebagai Pengutus rasul memang punya hak prerogarif melakukan hal tersebut. Jadi bahwa Tuhan di sini menasakh suatu ayat untuk kepentingan manusia sendiri sesuai dengan watak ajaran Islam yang enovatif, juga karena watak akomodatifnya terhadap tuntutan eksternal lingkungan.
Bila dicermati lebih lanjut, terma ta’dil (pengalihan) dan nasakh (peng-hapusan) adalah terma yang memiliki fungsi yang hampir sama dalam pandangan Sayyid Qutub. Namun demikian, terma ta’dil lebih digunakan untuk menunjukkan naskh ketentuan hukum ayat al-Quran dengan hukum ayat al-Quran yang lain, sementara terma nasakh sendiri dalam arti sebenarnya adalah sebagai peng-hapusan untuk hukum tasyri’ yang tidak sama dengan penghapusan syariat terdahulu, oleh karena proses nasakh tasyri sudah final dengan berakhirnya masa risalah Nabi. Ini sejalan dengan pandangan Sayyid Qutub sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa nasakh adalah semata-mata hak preoragatif Allah yang sampai kepada kita melalui wahyu-Nya.
Untuk lebih memahami pemahaman nasakh dalam pandangan Sayyid Qutub, berikut ini dikemukakan contoh nasakh dan pandangan Sayyid Qutub tentangnya, yakni QS. al-Anfal: 65 Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ
Terjemahnya: Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.
Berdasarkan ayat di atas, para ulama berpandangan bahwa ketentuan hukum pada awalnya berlaku dalam pertempuran antara pasukan kafir adalah satu banding sepuluruh. Maksudnya bahwa, satu orang muslim harus berani menghadapi sepuluh orang kafir, kemudian Allah memberi keringanan menjadi satu orang pasukan muslim banding dua orang pasukan kafir.
Kemudian, justeru Sayyid Qutub berpandangan bahwa ayat di atas mem-bicarakan tentang taksiran kekuatan pasukan muslim menghadapi pasukan kafir dalam pandangan Tuhan. Ini dimaksudkan untuk menentramkan jiwa umat Islam, sehingga tidak cepat gentar menghadapi pasukan musuh yang berjumlah besar. Jadi dalam pandangan Sayyid Qutub mengenai nasakh dalam ayat tersebut, ditemukan sebuah pengaitan yang korelatif yang dalam istilah ilmu tafsir adalah munasabah, dimana Allah melihat bahwa kemenangan bukanlah terletak pada jumlah yang besar, melainkan pada kadar “pemahaman” yang menjadi indikator keimanan sejati. Karena itu, taksiran rasio perbandingan antara pasukan muslim dengan pasukan kafir adalah konteks pengertian ini.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Badr al-Dīn Muhammad al-Zarkāsyi, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, juz II Mesir: Isa Babi al-halabi, t.th.Abū al-Fidā Ismil bin Kaśīr, Tafsīr al-Qur’ān al-Azhīm, jilid I Bairut: Dār al-Fikr, t.th.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar