Skip to main content

Landasan dan Pandangan Ulama tentang Nasakh

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: October 26, 2011

Al-Nushûsh al-syar'iyyah al-taklîfiyyah atau nash-nash syariat yang sifatnya taklifi (berkaitan dengan perbuatan si mukallaf) tidaklah datang sekaligus, akan tetapi bertahap. Artinya, penerapan syariat menempuh cara evolusi; ada 'sosialisasi' sebelumnya sehingga proses menuju adaptasi berjalan dengan baik. Hal ini terkait dengan hikmatullâh (kebijakan Allah Yang Maha Bijak) yang memang menghendaki kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya, dan kemaslahatan ini berbeda dari zaman ke zaman sesuai situasi dan kondisi.
Adalah hak prerogatif Allah swt untuk menentukan suatu hukum lalu menerapkannya untuk suatu kondisi tertentu. Dari sini, nasakh menjadi sesuatu yang sangat lumrah dan wajar. Ia logis dan rasional (جائز عقلا. Allah swt berfirman -yang artinya-: "Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh)". (QS. Ar-Ra'd: 39). Juga firman-Nya yang artinya: "...Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah Yang Maha cepat hisab-Nya". (QS. Ar-Ra'd: 41).
Dalam faktanya, nasakh benar-benar terjadi dalam perjalanan syariat Islam
واقع شرعا). Lihatlah bagaimana Allah swt meringankan beban orang-orang beriman dalam menghadapi orang-orang kafir dalam peperangan. Jika sebelumnya masing-masing dari mereka diharuskan menghadapi dua puluh orang musuh, maka kini masing-masing dari mereka hanya menghadapi sepuluh orang musuh. Allah swt berfirman yang artinya:
"Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kalian, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antara kalian, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepada kalian dan Dia telah mengetahui bahwa pada diri kalian ada kelemahan. Maka jika ada di antara kalian seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antara kalian ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar". (QS. al-Anfaal: 65-66).
Dan ketika Nabi saw sudah melihat kemantapan iman dari para Sahabat, beliau saw pun menyilahkan mereka menyiarahi kubur (setelah sebelumnya beliau melarangnya). Beliau saw bersabda: كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزورها "(aku dulunya melarang kalian menyiarahi kubur. Maka (sekarang) ziarahilah).
" مَا نَنْسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَوْ نُنْسِهَانَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير "ٌ
"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?". (QS. al-Baqarah: 106).
Begitu pula firman-Nya:
" وَإِذَا بَدَّلْنَا ءَايَةً مَكَانَ ءَايَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ "
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui". (QS. An-Nahl: 101).
Dan inilah yang diyakini oleh jumhur ulama (yaitu: النسخ جائز عقلا و واقع شرعا), bahkan menjadi ijma'  kaum muslimin sejak masa-masa awal. Karenanya, (kita dapati dalam sejarah), Ali r.a mengingkari dan menegur dengan keras seorang yang memberikan nasehat kepada orang-orang karena ketidaktahuannya akan nâsikh-mansûkh. Beliau r.a berkata kepadanya, "engkau binasa dan membinasakan!". Juga beliau mengeluarkan seseorang dari mesjid, yang sebelumnya memberikan nasehat kepada orang-orang, serta melarangnya untuk tidak lagi memberi nasehat karena ketidaktahuannya pula akan nâsikh-mansûkh.
Ibnu Abbas r.a menafsirkan "hikmah" dalam firman Allah SWT: "يؤتي الحكمة من يشاء ومن يؤت الحكمة فقد أوتي خيرا كثيرا..." (Allah menganugrahkan al-hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak...) dengan pengetahuan akan nâsikh-mansûkh al-Qur'an, muhkam-mutasyâbihnya, muqaddam-muakhkharnya serta halal-haramnya.
Belakangan, muncullah Abu Muslim al-Ashbahani yang menolak adanya nasakh dalam al-Qur'an. Beliau mendasarkan penolakannya pada firman Allah SWT:
" لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ "
"Yang tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji." (QS. Fushshilat: 42).
Menurut Abu Muslim, nasakh yang nota-bene adalah pembatalan dan atau penghapusan memperkuat dugaan, bahkan mendukung dan menjustifikasi, adanya kebatilan dalam al-Qur'an, dan itu mustahil. Ayat-ayat yang terkesan bertentangan diinterpretasi bukan dengan nasakh, tetapi dengan takhshîsh. Dengan begitu maka stigma "pertentangan" (تعارض) -yang identik dengan kebatilan- tak ada lagi.
Ulama yang cenderung menolak adanya nasakh adalah al-Fakhrurrazi. Yang paling mutakhir adalah Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha (murid Muhammad Abduh), Abdul Muta'al al-Jabiri (dengan kitabnya: lâ Naskh fî al-Qur'ân) dan yang lainnya. Muhammad Abduh menolak jika ayat: ما ننسخ من آية " dijadikan legitimasi nasakh.
Akan halnya Abdul Muta'al Al Jabiri, beliau mengingkari nasakh, baik secara aqli maupun naqli. Beliau berkesimpulan bahwa ayat yang dinyatakan nasîkh atau mansûkh tak lebih hanyalah klaim. Tak ubahnya tarjih tanpa dalil yang qath'iy bahwa ini yang rajih dan itu yang marjuh (tarjîh bi lâ murajjih).
Bagaimanapun juga, nasakh tak dapat dipungkiri adanya. Keberadaannya bukanlah sesuatu yang mustahil. Justru jika dicermati realita kehidupan manusia yang selalu berubah disebabkan perubahan kondisi dan situasi, maka nasakh merupakan sesuatu yang mutlak. Mutlak oleh karena nasakh mencerminkan nikmat dan rahmat Allah SWT kepada manusia di selurus jalan kehidupannya yang senantiasa berubah.
Tidaklah tepat jika nasakh mengindikasikan adanya aib dan kebatilan dalam Al Qur'an, karena nasakh adalah al-ibthâl (pembatalan) dan bukan al-bâthil (kebatilan) yang merupakan lawan dari al-haqq (kebenaran). Ketika Allah SWT menafikan kebatilan dalam Al Qur'an, itu berarti bahwa aqidah Al Qur'an sejalan dengan logika dan rasio, hukum-hukumnya sesuai hikmah, berita-beritanya secocok dengan kenyataan dan lafazh-lafazhnya terjaga dari perubahan. Kesalahan sekecil apapun tidaklah sanggup menghinggapinya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Muhammad Qurays Shihab, Membumikan Al Qur'an, Bandung: Mizan, 1992. Abdullah Al Bassam, Taudhîh al-Ahkâm min Subul al-Salâm, Makkah: An-Nahdhah Al Haditsah, 1997. Az-Zarqani, Manâhil al-Irfân fî Ulûm al-Qur`ân, Beirut: Dar Al Kutub Al 'Ilmiyyah, 2003. Al Qaththan, Mabâhits fî 'Ulûm al-Qur`ân, Riyadh: Maktabah Al Ma'arif, 2000
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar