Skip to main content

Asuransi dalam Perspektif Ulama

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: October 26, 2011

Asuransi adalah suatu persetujuan pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang di jamin untuk menerima sejumlah premi mengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh pihak yang ditanggungi sebagai akibat suatu peristiwa yang belum terang akan terjadinya. Asuransi terlihat dua pihak, yaitu penanggung dan tertanggung. Pihak pertama biasanya berwujud lembaga atau perusahaan asuransi, sedangkan pihak kedua adalah orang yang akan menderita karena suatu peristiwa yang belum terjadi. Sebagai kontrak prestasi dan pertanggungan ini pihak tertanggung diwajibkan membayar uang premi kepada pihak penanggung.
Dalam menghadapi masalah asuransi ini para ahli fiqih kontemporer dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu:
Yusuf al-Qardhawi dan ‘Isa Abduh mengharamkan asuransi secara mutlak, termasuk asuransi jiwa. Menurut mereka bahwa pada asuransi yang ada sekarang ini terdapat unsur-unsur yang diharamkan oleh Allah, seperti:
Asuransi sama dengan judi, karena tertanggung akan mengharapkan se-jumlah harta tertentu seperti halnya dalam judi.
Asuransi mengandung ketidakjelasan dan ketidakpastian, karena si tertanggung diwajibkan membayar sejumlah premi yang telah ditentukan, sedangkan berapa jumlah yang akan dibayarkan tidak jelas. Lebih dari itu, belum ada kepastian, apakah jumlah tertentu itu dapat diberikan kepada tertanggung atau tidak. Hal ini sangat tergantung pada kejadian yang telah ditentukan. Mungkin ia akan memperoleh seluruhnya, tapi mungkin juga ia tidak memperoleh sama sekali.
Asuransi mengandung unsur riba, karena tertanggung memperoleh sejumlah uang yang jumlahnya lebih besar daripada premi yang dibayarkan.
Mushthafa Ahmad Zarqa dan Muhammad Al-Bahi’, membolehkan asuransi secara mutlak tanpa kecuali, argumentasi yang dipakainya adalah :
  1. Dalam asuransi terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah pihak.
  2. Asuransi saling menguntungkan kedua belah pihak.
  3. Asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan dalam kegiatan pembangunan.
Asuransi termasuk akad mudharabah antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi. Asuransi termasuk syirkat ta’awuniyyat, usaha bersama yang didasarkan pada prinsip tolong menolong.
Muhammad Abu Zahrah membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan meng-haramkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial. Sedangkan ‘Abdullah Ibn Zaid membolehkan asuransi kecelakaan dan mengharamkan asuransi jiwa. Alasannya hampir sama dengan kelompok pertama dan kedua di atas, hanya saja ia mencari titik temu di antara keduanya.
Adapun ahli fiqih yang menganggap asuransi syubhat sebab tidak ada dalil yang secara tegas mengharamkannya dan tidak ada pula dalil yang me-larangnya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum asuransi. Atau dengan kata lain, masalah asuransi adalah masalah khilāfiyah, ada yang pro dan kontra. Sekaitan dengan itu, admin perlu merumuskan status hukum asuransi secara tepat dan akurat melalui kajian ijtihādi. Dalam hal ini, penulis menggunakan metode ijtihad yang bersistem sesuai ketentuan syara’ yakni; pertama dicari dasarnya dalam Alquran, kalau tidak ditemukan dalam Alquran, diusahakan dicari dalam sunnah. Jika di dalam Alquran dan sunnah tidak ditemukan ketentuan sesuatu hukum, maka diperlukan sumber hukum ijtihad lain, yakni ijma, qiyas, serta kaidah-kaidah lain misalnya mashalah, istihsān, ‘urf, sad al-syarī’ah dan selainnya.
Karena dalil tentang asuransi tidak ditemukan nashnya secara sarīh dan qat’īy dalam Alquran maupun hadis, ijma dan qiyas, maka menurut penulis bahwa persoalan asuransi tersebut terlebih dahulu harus ditinjau dari aspek filosofisnya berdasarkan prinsip mashlahah. Dalam hal ini, jika masyarakat menjadi peserta asuransi dengan filosofi niat memperoleh keuntungan dari nilai barang yang diasuransikan, apalagi jika yang diasuransikan adalah jiwa, maka jelas rambu-rambu syariat tidak memperbolehkannya, sebab di dalamnya ada unsur riba dan spekulasi, yang keduanya dilarang keras oleh syariat.
Tetapi, jika asuransi dilandaskan pada fiolofi kegotongroyongan untuk menyiapkan dana guna menolong siapa saja dari peserta lain yang memperoleh musibah, maka jelas syariat membolehkannya, karena ia termasuk mashlahah (kemaslahatan bersama). Bahkan, tolong menolong dalam kebajikan merupakan ajaran luhur syariat Islam. Jadi, niatnya adalah filosofi sosial dengan melihat mashlahah-nya. Dalam QS. al-Māidah/5:2 Allah berfirman :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Berdasarkan ayat tersebut, suatu asuransi, bagaimanapun sistemnya, baik yang bernama takāful syariah, maupun asuransi konversional, kalau tidak didasarkan pada aspek mashlahah, yakni alā al-birri wa al-taqwā maka tidak dibolehkan, karena dalam asuransi itu ada unsur spekulatif, yakni al-iśmi wa al-udwān yang bertentangan dengan asas kepastian ekonomi Islam. Tetapi, unsur spekulatif ini tidak menjadi soal jika dilandaskan pada filosofi amal sosial, karena setiap peserta tidak mendambakan secara utama memperoleh keuntungan ekonomi, melainkan semata-mata berniat untuk menolong sesamanya yang mengalami musibah, dan musibah itu sendiri tidak menentu datangnya.
Berdasar pada analisis penulis di atas, maka kelihatan bahwa asuransi menurut syariat Islam adalah sesuatu yang dibolehkan, karena ia termasuk mashlahah al-Ammah yang sejalan dengan maqashid al-syarīiah dalam bidang perekonomian. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam, yakni ;
الأصل فى العقود الإباحة حتى يدل الدليل على تحريمها
Pada prinsipnya dalam akad-akad itu boleh, sehingga ada dalil yang melarangnya.
Bahkan, selain QS. al-Māidah/5: 2 yang telah disebutkan, juga terdapat hadis Nabi saw yang mengisyaratkan kebolehan asuransi tersebut, yakni ;
... إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ
Sesungguhnya lebih baik kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kecukupan, daripada meninggalkan mereka menjadi tanggungan orang banyak.
Berdasar pada hadis di atas yang intinya adalah bahwa Nabi saw mengharapkan kepada pihak keluarga yang mewarisi untuk tidak memberatkan orang lain, jelas di dalamnya mengandung pentingnya mendahulukan kemaslahatan al-ammah, atau kemaslahatan orang banyak. Karena demikian halnya, tampak bahwa esensi hadis tersebut sejalan dengan tujuan asuransi yakni mengurangi resiko dan bersifat sosial, serta membawa maslahah bagi keluarga.
Dalam sisi lain, praktek asuransi sudah diperhitungkan secara matematik untung runginya bagi perusahaan asusransi dan bagi para pemegang polisnya, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan secara mutlak. Hal ini, sesuai dengan asas dan prinsip hukum Islam, yakni meniadakan kesempitan dan kesukaran, serta kerusakan. Jadi, ia sesuai dengan kaidah ushul yakni :
الحكم لجلب المصلحة ودفع المفسدة
Hukum Islam bertujuan pokok mencari kemaslahatan dan menghindari ke-rusakan atau kerugian.
Kaidah di atas, menjelaskan bahwa hukum-hukum Allah swt yang benar itu, mesti berpedoman pada adanya keseimbangan antara manfaat dan mudharat. Jika manfaatnya lebih besar, maka Allah swt akan menghalalkannya. Sedangkan jika mudharatnya lebih besar, maka Allah swt akan mengharamkannya. Karena asuransi sebagaimana yang telah penulis jelaskan bahwa lebih banyak manfaat-nya, maka praktis bahwa hukumnya adalah “mubah (dibolehkan)” menurut syariat. Dikatakan demikian karena asuransi yang sudah lama menjadi pranata ekonomi masyatakat, telah terbukti manfaatnya bagi peserta asuransi.
Dalam upaya mempertahankan statuta hukum tentang “ke-mubah-an” asuransi sebagaimana yang telah penulis tetapkan, maka sebaiknya pihak perusahaan asuransi mengambil langkah-langkah manajemen yang lebih efektif lagi, dengan tetap mendahulukan mashalah, sehingga masyarakat mengetahui dan memahami bahwa praktek asuransi adalah benar-benar sesuai dengan maqashid al-syarīiah yang dibolehkan menurut syariat.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Undang-undang Hukum Dagang, dalam pasal 246. Wirjono Prodjodikoso, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Intermas, 1986(. Marzuki Rasyid, Asuransi Ditinjau Menurut Hukum Islam dalam “Berita Resmi Muhammadiyah” (Yogyakarta: 1989). Muhammad Muhammad Muslihudiin, Insurance and Islamic Law, (Lahore; Islamic Publication Limited, 1969). Faishal Manlawi, Nizam al-Ta’nibi wa Mawqif al-Syari’at Minhu, (Bairut: Dar al-Irsyad, 1988I. Abd. al-Hamid al-Hakim, al-Bayan fi ‘Ilm al-Ushul, (Bandung: Angkasa, 1989). Abu ‘Abdullah bin Mugirah al-Bardizbah al-Bukhariy, Shahih al-Bukhari dalam “CD Rom Hadis”, kitab al-Wisayah nomor 2537.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar