Skip to main content

Valuta Asing = Riba?

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 19, 2011

Dari segi bahasa, riba berarti: tambahan atau kelebihan. Menurut Syara’, riba adalah perolehan harta dengan harta lain dengan saling melebihkan antara satu dengan yang lain. Ulama fikih membagi kepada dua macam, yaitu riba fadl dan riba nasiah. Riba fadl yaitu; pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
Sedangkan riba nasiah; penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian. 
Ulama fikih telah sepakat mengharamkan riba fadl pada bermacam-macam benda yang tersebut dalam hadis, yaitu emas, perak, anggur, gandum, kurma dan garam. Tetapi mereka berbeda pendapat pada benda-benda selainnya. Sekelompok fuqaha (ahli fikih) berpegang pada dhahir hadis tersebut, bahwa barang riba itu terbatas pada enam jenis yang tersebut dalam hadis saja. Pendapat ini dipegang oleh golongan zahiriyyah, Qatadah, Thawus, Usman al-Batti dan Ibn Aqil al-Hanbali. Implikasi dari pendapat ini, bahwa selain jenis lainnya tidaklah dikategorikan riba.
Sedangkan kelompok yang terdiri dari Ammar, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, dalam suatu riwayat memandang bahwa segala sesuatu yang dijual dengan memakai takaran atau timbangan dapat dikategorikan riba. Al-Syafii dan Ahmad dalam suatu riwayat, berpendapat bahwa riba itu memasuki emas, perak dan tiap-tiap makanan dan minuman yang dijual dengan memakai takaran dan timbangan. Mazhab Maliki memandang keharaman riba fadl itu atas makanan yang merupakan makanan pokok yaitu makanan yang biasanya menguatkan tubuh.
Sementara itu Taqiyuddin berpendapat, bahwa riba tidak akan terjadi di dalam praktek jual beli dan salam, pada selain enam jenis barang yang disebutkan dalam hadis. Sedangkan riba dalam praktek gard bisa terjadi pada segala jenis. Karena selain keenam jenis barang tersebut tidak terdapat satu dalil pun yang mengharamkannya, sehingga praktek riba tidak terjadi pada yang lain. Ini didasarkan pada kaedah:
“Hukum asal barang adalah mubah (halal) selama todak terdapat satu dalil pun yang mengharamkannya”
Dengan meneliti tansaksi jual beli dalam bentuk transaksi finansial yang berlangsung di Pasar Internasional, biasanya terjadi penjualan mata uang dengan mata uang yang serupa, misalnya uang kertas Rp. 100.000 ditukar dengan uang kertas Rp. 10.000 10 lembar, atau penjualan mata uang dengan mata uang asing, misalnya, penjualan Dollar AS dengan Rupiah Indonesia. Aktivitas tersebut adalah aktivitas sharf, juga sering diistilahkan dengan valuta asing. Praktek sharf tersebut bisa terjadi dalam uang sebagai mana dalam pertukaran emas dan perak. Sebab sifat emas dan perak bisa berlaku untuk jenis barang tersebut, sebagai sama-sma merupakan mata uang. Dalam dunia perekonomian saat ini, bentuk jual beli ini banyak dijumpai dalam bank-bank asing, misalnya jual beli rupiah dengan dolar Amerika Serikat atau dengan mata uang asing lainnya. Semuanya ini mubah, sebab uang tersebut menjadi jelas karena adanya pernyataan dalam suatu transaksi, sehingga pemilihan atas bendanya bisa ditetapkan.
Dengan demikian, tidak boleh menjual emas dengan perak kecuali secara kontan. Apabila pembeli dan penjual sama-sama telah berpisah sebelum keduanya sama-sama sepakat, maka pertukaran tersebut statusnya fâsid (rusak). Demikian pula bila emas dijual dengan emas atau perak dengan perak baik antara dua jenis dinar, atau cincin, atau batangan, harus sama-sama timbangannya, barangnya sama-sama ada, sama-sama kontan, dan tidak boleh yang satu dilebihkan atas yang lain. Wallahu a'lam
Kepustakaan: 
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiyah Wa Adillatuh, Suria: Dar al-Fikr, 1989, Taqiyuddin al-Nabhani, Al-Nizam al-Ijtihadiy Fi al-Islam, diterjemahkan oleh Drs. Masgfur Wachid dengan judul Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, Badruddin Abi Mahmud Muhammad bin Ahmad al-A’ini, Umdat al-Qariy Syarh Shahih Bukhariy, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Pt. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar