Skip to main content

Referensi Makalah; Islam di Brunei

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 10, 2011

Ditemukan beragam versi dan pendapat tentang sejarah awal masuknya Islam di Brunei. Azyumardi Azra menulis bahwa sejak tahun 977 Kerajaan Borneo (Brunei) telah mengutus P'u Ali ke Istana Cina. P'u Ali yang dimaksud adalah pedagang muslim yang nama sebenarnya adalah Abu 'Ali. Pada tahun yang sama, diutus lagi tiga duta ke Istana Sung, salah seorang di antaranya bernama Abu ' Abdullah.
Dari segi namanya saja, sudah jelas bahwa kedua orang yang diutus tadi adalah orang Islam. Namun tidak ditemukan data lebih lanjut tentang asal usul utusan tersebut, apakah dia orang pribumi melayu asli sekaligus pendakwah Islam, atau pedagang muslim dari luar (Hadramaut) dan tinggal di Brunei kemudian diutus ke Istana Cina untuk misi perdagangan. Sebab, sebagaimana yang telah disinggung, Kerajaan Brunei pada awalnya adalah pusat perdagangan orang-orang Cina.
Versi lain menerangkan bahwa sekitar abad ke-7 pedagang Arab dan sekaligus sebagai pendakwah penyebar Islam telah datang ke Brunei. Kedatangan Islam di Brunei, melegatimasikan bagi rakyat Brunei untuk menikmati Islam yang tersusun dari adat dan terhindar dari akidah tauhid. Maksudnya, adat dan atau tradisi yang telah menjadi anutan masyarakat tetap dijalankan selama dapat mem-perkaya khazanah keislaman. Karena itu, sampai sekarang secara jelas terlihat pengamalan ajaran Islam di sana beralkulturasi dengan adat, misalnya dalam acara pesta dilaksanakan berdasarkan syariat Islam, tanpa meng-abaikan tradisi setempat.
Kemudian dalam Ensiklopedi Oxpord yang ditulis dan diedit John L. Esposito, seorang pakar Islam dari kalangan orientalis dinyatakannya bahwa, orang Melayu Brunei menerima Islam pada abad ke-14 atau ke-15 setelah pemimpin mereka diangkat menjadi sultan Johor. Sultan sebagai pemimpin kerajaan dan sekaligus pemimpin agama, dan bertanggung jawab menjunjung tinggi pelaksanaan ajaran agama di wilayah kerajaannya.
Berdasar dari data-data dan keterangan di atas, dapat dipahami bahwa sebenarnya, Islam telah menjadi perhatian raja Brunei sejak masa lalu. Raja Brunei Brunei justru mengutus orang Islam dalam misi perdagangan, dan karena itu maka ketika pedagang Islam dari Arab datang ke Brunei mendapat sambutan dari masyarakat setempat, selanjutnya setelah raja Brunei dikukuhkan menjadi sultan, maka orang Melayu di sana secara luas menerima Islam. Artinya bahwa peta perkembangan Islam di Brunei berdasar pada pola top down.
Ahmad M. Sewang merumuskan, pola top down adalah pola penerimaan Islam oleh masyarakat elite, penguasa kerajaan, kemudian disosialisasikan dan berkembang kepada masyarakat bawah. Di samping top down, ada juga yang disebut bottom up, yakni Islam diterima terlebih dahulu oleh masyarakat lapisan bawah, kemudian berkembang dan diterima oleh masyarakat lapisan atas, atau elite penguasa kerajaan.
]Oleh karena pola top down yang menjadi pola Islamisasi di Brunei, praktis agama Islam di Brunei cepat sekali perkembangannya. Sama halnya di Kerajaan Gowa menurut hasil penelitian Ahmad M. Sewang bahwa proses Islamisasi di di daerah ini berdasar pada pola top down. Islam diterima terlebih dahulu elite kerajaan, yaitu Raja Tallo dan Raja Gowa, setelah itu diikuti masyarakat ramai.
Proses Islamisasi yang sama dengan pola top down juga terjadi di Kerajaan Buton. Menurut hasil penelitian Abd. Rahim Yunus bahwa Buton baru menerima Islam pada pertengahan abad ke-16 dan rajanya yang keempat ketika itu adalah raja pertama yang menerima Islam dan menjadikannya sebagai agama resmi kerajaan pada tahun 948 H atau 1540. Penganjur Islam yang mengislamkannya memberika gelar "sultan".
Demikian pulalah yang terjadi di Brunei, raja-raja Brunei sejak turun temurun adalah kerajaan Islam dan raja-raja Brunei juga bergelar "sultan".
Dalam pada itu, Kerajaan Brunei dalam konstitusinya secara tegas menyatakan bahwa kerajaan tersebut adalah negara Islam (برونى دارالسلام), yang beraliran Sunni (Ahlu sunnah wa al-Jamaah). Perkembangan Islam di negara Brunei, didukung sepenuhnya oleh pihak pemerintah kesultanan yang menerapkan konsep kepemimpinan sunni yang ideal dengan menerapkan prinsip-prinsip ketatanegaraan dan pemerintahan dalam Islam.
Sejak akhir abad ke-19 sampai 20, terlihat perkembangan kehidupan keagamaan pada masyarakat Brunei yang sangat signifikan, baik pada tingkat kelembagaan maupun penerapan ide-ide reformis. Perubahan administrasi ketatanegaraan pada abad ini juga besar andilnya terhadap proses skripturalisasi dan reformasi keagamaan. Karena sultan (raja) memiliki wewenang penuh dalam bidang agama, hubungan antara sultan dan agama menjadi sangat kuat. Dengan demikian, perubahan politik dan dinamika agama yang dikedepankan pemerintah juga ber-imbas pada reformasi kehidupan umat beragama.
Dalam abad itu juga status dan institusi-institusi Islam di Brunei tetap men-cerminkan tradisi yang umumnya juga menjadi tradisi kesultanan di Semenanjung Melayu. Literatur yang ada dalam kurun abad tersebut tidak menunjukkan ada gerakan atau kejadian penting yang dapat meronrong agama. Brunei benar-benar tidak tersentuk kontroversi keagamaan yang kadang-kadang terjadi di tempat/ negara lain di kawasan ini.
Ketika Inggris datang pada dalam masa itu, sebagian besar masyarakat Islam Brunei menghormati Inggris sebagai penyelamat negara mereka. Di sinilah letak keunikan masyarakat Islam Brunei, sekaligus sebagai indikasi bahwa Islam di Brunei bisa berkembang tanpa ada hambatan, karena masyarakatnya menghindari zhu'u zhanny (perangka buruk) yang berlebihan terhadap Inggris, justru dengan sikap tasamuh (toleran) masyarakat muslim menyebabkan negara Brunei benar-benar menjadi darussalam (negara yang selamat) dari berbagai goncangan dan malapetaka.
Jadi dipahami bahwa Islam di Brunei dari masa ke masa mengalami perkembangan dari segala aspeknya, dan perkembangan tersebut bermula dari sejarah kedatangan Islam sampai ke pemerintahan al-Marhum Sultan Haji Omar Ali Saifuddien. Usaha-usaha untuk mengembangkan Islam diteruskan pula oleh Yang Mulia Paduka Seri Baginda Sultan Haji Hassanal Bolkiah Mu'izzaddin Wadaulah, Sultan dan yang Di-Pertuan Negara Brunei dengan wawasan yang lebih luas, jauh dan mantap lagi. Berbagai usaha telah dibuat dan dilaksanakan termasuk pembinaan masjid, pendidikan agama, pembelajaran al-Qur'an, perundangan Islam dan banyak lagi yang lainnya dengan hasrat menuju ke arah kemajuan gemilang Islam di Negara Brunei.
Seri Baginda Sultan Haji Hassanal Bolkiah Mu'izzaddin Wa daulah, menekankan pentingnya MIB (Malayu Islam Beraja, atau Kerajaan Islam Malayu). Menurutnya, interpretasi MIB harus menegaskan Brunei Darussalam “Identitas dan citra yang kokoh di tengah-tengah negara-negara non-sekuler lainnya di dunia”, dan karenanya sejak tahun 1991 juga ditandai dengan bermacam-macam perayaan peristiwa keagamaan. Hal ini selaras dengan apa yang barangkali dapat digambarkan sebagai pusat dan pengembangan Kerajaan Islam Malayu yang kecil namun makmur.
Perkembangan Islam di Brunei dapat juga dilihat dari segi kuantitas umat Islam itu sendiri di sana. Brunei berpenduduk 227.000 jiwa (tahun 1988) dengan kaum muslim sebagai mayoritas, melayu 155.000 jiwa, Cina pendatang 41.000 jiwa, masyarakat campuran 11.500 jiwa, dan 20.000 dari Eropa dan pekerja dari Asia sekitarnya mereka imigran dari Filipina. Kemudian pada tahun 1991, penduduk berjumlah 397.000 jiwa, dan masyarakat muslim 64%, Budha 14%, dan Kristen 10%. Data terakhir, memasuki tahun 2004 penduduk Brunei berjumlah 443.653 jiwa, dan tentunya umat muslim masih tetap menjadi dominan sampai saat sekarang ini.
Salah satu bukti lagi, di samping bukti-bukti lain bahwa Islam di Brunei mengalami perkembangan yang cukup signifikan di antara negara-negara muslim lainnya, adalah bahwa selama tahun 1991, bangsa Brunei telah menyelenggarakan dan berpartisipasi dalam berbagai forum Islam regional dan internasional. Misalnya, di bulan Juni Brunei menjadi tuan rumah bagi Pertemuan Komite Eksekutif Dewan Dakwah Islam Asia Tenggara, dan Pasifik (Regional Islamic council of Southheast Asia anda Pasific, RISEAP). Di bulan Oktober, Sultan menghadiri perayaam menandai pembukaan Festival Budaya Islam di jakarta. Bulan Desember, Paduka menghadiri Konvensi Islam OKI yang diselenggarakan di Qatar. Posisi sentral Islam lagi-lagi diperkuat di bulan September 1992 dengan didirikannya Tabung Amanah Islam Brunei (TAIB atau dana Amanah Islam Brunei), lembaga Finansial pertama di Brunei yang dijalankan berdasarkan ajaran syariat Islam.
Aktivitas-aktivitas yang telah disebutkan di atas, tentu berfungsi untuk memperkokoh pengembangan Islam, dan posisi sentral Islam, baik sebagai komponen penting dalam ideologi maupun sebagai prinsip yang mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat Brunei.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Jakarta: Kencana, 2005. "Jejak Rasul 10: Pedagang Arab sebarkan Islam ke Brunei", http.//.www.bharian.com.my.misc/RamadhanAlmubarak/jejakrasul/20041105112413/Article.John L. Esposito (ed), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 3 New York: Oxford University, 1995. Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar