Skip to main content

Kesulitan Mendefinisikan Hukum

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 09, 2011

Segudang pendapat yang membahas tentang pendefinisian hukum. Ada yang menganggap bahwa tidak mungkin dapat mendefinisikan hukum dengan argumennya sendiri, demikian pula yang menginginkan adanya definisi hukum. Masing-masing alasan ada benarnya ditinjau dari sisi tertentu. Dalam kaitan ini, Soedjono Dirdjosisworo (1984:25) secara singkat mengemukakan bahwa "Arti umum tersebut dirumuskan bukan untuk membatasi atau memberi definisi hukum. Karena memberi definisi hukum adalah hal yang sukar sekali".
Pendapat tersebut, bertolak pada pandangan yang dikemukakan oleh Kant dalam sumber yang sama, yang menegaskan bahwa "Batasan tentang Hukum masih sementara dicari dan belum didapatkan. Kesulitan mendefinisikan hukum, disebabkan karena mencakup aneka macam segi dan aspek, serta karena luasnya ruang lingkup (scope) hukum".
Achmad Ali ketika mengomentari pendapat Arnold, mengatakan "Meski ada yang menganggap bahwa dalam kenyataannya, hukum tidak akan pernah dapat didefinisikan".
Bahkan lebih ekstrim lagi pandangan yang dikemukakan Soedarsono (1991: 42), "Pada umumnya definisi ada sisi negatifnya. Definisi tidak dapat mengutarakan keadaan sebenarnya dengan jelas. Keadaan sebenarnya banyak sisinya, berupa-rupa dan ganti berganti, sedangkan definisi, karena ia menyatakan segala-galanya dalam satu rumus, harus mengabaikan hal yang berupa-rupa dan yang banyak bentuknya".
Jika menelaah lebih mendalam pendapat ini, maka kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pada dasarnya pandangan tersebut kurang setuju untuk memberikan difinisi tentang hukum, karena dalam satu term definisi harus dapat menjamin bahwa seluruh ruang lingkup yang didefinisikan harus benar-benar teraplikasi didalam difinisi secara utuh. Di sinilah letak kesulitan mendefinisikan hukum
Dalam pada itu, C.S.T. Kansil mengemukakan bahwa "Sesungguhnyalah apabila kita meneliti benar-benar, akan sulitlah bagi kita untuk memberi definisi tentang hukum. Para sarjana hukum sendiri belum dapat merumuskan suatu definisi hukum yang memuaskan semua pihak".
Pandangan yang paling sulit diterima akal, adalah pendapat Radeliff Brown seperti yang dikemukakan Achmad Ali (1996 : 21), "In this sense some simple societies have no law", suatu pandangan yang bukan lagi menyatakan kesulitan mendefinisikan hukum, melainkan justru menghindari eksistensi dan keberadaan hukum di dalam atau di tengah masyarakat.
Kesulitan mendefinisikan hukum sebagaimana digambarkan oleh pendapat para ahli tersebut, ditegaskan kembali oleh Achmad Ali (1996 : 21-22) bahwa "Hukum memang pada hakekatnya adalah sesuatu yang abstrak, meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud konkrit. Olehnya itu pertanyaan tentang apakah hukum, senantiasa merupakan pertanyaan yang jawabannya tidak mungkin satu. Dengan lain perkataan, persepsi orang tentang hukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya".
Ini berarti bahwa kesulitan untuk mendefinisikan hukum oleh pandangan sejumlah pakar tersebut, terutama meletakkan titik berat pada luasnya ruang lingkup atau cakupan hukum itu. Pandangan ini semakin jelas dengan pendapat Kusumadi Pudjosewojo yang dikutip oleh C.S.T. Kansil (1980 : 35), "Untuk dapat mengerti sungguh-sungguh segala sesuatu tentang hukum dan mendapat pandangan yang selengkapnya, tidak dapat hanya mempelajari buah karangan satu atau dua orang tertentu saja. Setiap pengarang hanya mengemukakan segi-segi tertentu sebagaimana dilihat olehnya".
Alasan lain yang menjadi kesulitan pendefinisian hukum dikemukakan oleh Achmad Ali dengan mengutip pendapat Paton (1996:23) yang menyatakan bahwa: "Terlepas dari penyebab interen yaitu keabstrakan hukum dan keinginan hukum untuk mengatur hampir seluruh kehidupan manusia, maka kesulitan pendefinisian juga bisa timbul dari faktor ekteren hukum, yaitu faktor bahasa sendiri. Jangankan hukum yang memang abstrak, bahkan sesuatu yang konkritpun sering sulit untuk didefinisikan dengan hanya satu definisi".
Hambatan atau kesulitan pendefinisian hukum karena faktor bahasa tersebut bertitik tolak pada adanya istilah-istilah yang dipergunakan yang tidak mempunyai pengertian yang sama dalam konteks penggunaannya. Mungkin ada istilah yang dipergunakan dalam artinya yang sempit, mungkin pula ternyata sebaliknya.
Achmad Ali juga sempat mengangkat pandangan L.B. Curzon (1996: 24) tentang kesulitan pendefisinian ini dengan mengemukakan pandangannya bahwa;
"Mengenai yang dimaksud Curzon dengan perbedaan arti suatu kata dalam istilah hukum dan dalam bahasa sehari-hari, dapat penulis berikan contoh antara laian pengertian hewan menurut bahasa sehari-hari adalah semua jenis binatang, baik binatang ternak ataupun bukan. Sedang pengertian hewan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hanya binatang ternak saja".
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar