Skip to main content

Keadaan Daulat Abbasiyah pada Awal Pembentukannya

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 21, 2011

Penggantian Daulat Umayyah oleh Daulat Abbasiyah, dalam kekhalifahan masyarakat Islam lebih dari sekedar perubahan dinasti, di mana pusat pemerintahan dipindahkan dari Siria ke Irak, tepatnya dari Damaskus ke Baghdad.
Dengan perubahan seperti ini, maka secara cara internal di dalam pemerintahan Daulat Abbasiyah tidak sama dengan Daulat Umayyah sebelumnya. Lebih lanjut Ahmad Amin menyatakan bahwa pada Daulat Abbasiyah, terjadi kesuksesan emas yang tidak dialami oleh Daulat Umayyah. Dalam hal ini, sejak awal pemerintahan Daulat Abbāsiyah, suasana kehidupan semakin terbuka, dalam arti struktur kehidupan masyarakat menjadi membaik (al-ishlāhāt al-ijtimā’iyyah).
Sisi lain, Bagdad sebagai pusat pemerintahan berkembang secara pesat, keputusan untuk membangun pusat militer di sana merupakan program utama. Perluasan perkampungan militer yang bernama al-harbiyah sampai ke bagian selatan Bagdad, yakni di al-Karkh. Dengan keadaan awal seperti ini, menjadikan Daulat Abbāsiyah semakin memperlihatkan eksistensinya.
Di samping itu, periode pertama bagi Daulat Abbasiyah dapat pula disebut periode Persia pertama, karena untuk memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, ibu kota yang baru dibangunnya yakni Bagdad, dekat bekas ibu kota Persia.
Dalam Ensiklopedia Islam dikatakan bahwa memang peluang besar yang tersedia buat seluruh penghuni wilayah Daulat Abbasiyah dalam hampir seluruh lapangan hidup. Dengan sendirinya corak dan pola hubungan sosial tidak lepas dari dasar dan alasan dikorbankannya gerakan Abbāsiyah (al-da’wah al-‘Abbāsiyah).
Periode awal pembentukan Dinasti Abbāsiyah yang disebutkan di atas, bermula dari tahun 750 M sampai 847 M. Pada periode ini, pe-merintahan Daulat Abbāsiyah mencapai kemajuan drastis secara politis.
Para kahlifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Periode ini, juga berhasil menyiapkan landasan perkembangan pemetaan wilayah Islam, karena penguatan pada bidang militer sebagai mana yang telah disebutkan menjadi program utamanya.
Sepeninggal al-Shafah pada bulan juni 754 karena serangan penyakit cacar yang dialaminya, memang telah ada calon penggantinya, yakni Abū Ja’far al-Manshūr (saudara al-Shafah sendiri), untuk menduduki tahta ke-khalifahan.
Meskipun al-Saffāh merupakan penguasa pertama dari Daulat Abbāsiyah, tetapi Menurut Harun Nasution bahwa al-Manshūr ini, harus pula dianggap sebagai pendiri dari Daulat Abbāsiyah tersebut. Kekuasaan yang dimilikinya serta pengaruhnya sangat luas karena kemampuan al-Manshūr memandang ke masa depan.
Alasan lainnya adalah, al-Manshūr berkuasa sampai tahun 726 M, dan oleh karena itu ia sebagai khalifah kedua, serta tergolong sebagai khalifah dalam periode awal Daulat Abbāsiyah.
Abū Ja’far dengan pengetahuan yang cemerlang itu, selama masa pemerintahannya, mampu menciptakan ikatan hierarki yang kuat dan setia kepada daulat Abbāsiyah yang baru sementara dibangun itu. Ia meng-konsolidasikan dinasti ini dengan kukuh dan tidak pernah mengurangi tindakan kejamnya apabila kepentingan-kepentingan dinasti terancam.
Al-Saffah sebelum al-Manshūr, memang termasuk “kejam” (kalau mau dikatakan demikian) disebabkan oleh kekuatannya menghancurkan Daulat Umayyah, tetapi bagi al-Manshūr sendiri juga dapat dikatakan “kejam”, disebabkan kekuatannya menaklukkan wilayah-wilayah lain secara paksa misalnya di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Sicila pada tahun 756-758 M. Ke Utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kapis, Turki di bagian lain Okus dan India.
Popularitas Daulat Abbāsiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harūn al-Rasyīd (786-809) dan putranya al-Ma’mūn (813-833 M). kekayaan yang banyak dimanfaatkan al-Rasyīd untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Kesejahteraan, kesehatan, dan kebudayaan serta kesusastraan sangat maju pada zaman ini. Dalam menjalankan roda kekhalifahan, al-Rasyīd tidak segan-segan memecat pegawainya yang berlaku curang. Misalnya saja, seorang Hakim bernama Hafs bin Ghiyāś dipecat karena berlaku tidak adil. Pada masa periode awal Daulat Abbāsiyah inilah, menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dalam bidang militer, dan menjadikan sistem pemerintahan secara kuat pula.
Sebagaimana Daulat Umayyah telah mewarisi preseden birokrasi bangsa Romawi dan Sasania dan bahkan dari sisa-sisa organisasi kuno, maka Daulat Abbāsiyah mewarisi berbagai tradisi, praktik, keahlian, dan bahkan personil administrasi Umayyah. Ikatan perorangan dan perwalian terhadap khalifah sungguh merupakan esensi organisasi pemerintahan.
Menurut Ira M. Lapidus, pada periode pertama Daulat Abbāsiyah menteri-menteri semata staf juru tulis dari jabatan-jabatan penting, dan khalifah merupakan tempat mendapatkan petunjuk dalam segala urusan. Namun, lambat laun peran peran keluarga khalifah secara subtansial digantikan oleh bentuk pemerintahan yang lebih rasional, meskipun dalam pengertian yang seutuhnya. Walaupun demikian, dalam periode ini tentu ada pula sisi-sisi kelemahan yang dihadapi oleh Daulat Abbāsiyah, semisal sebagian menteri dan staf juru tulis mereka tidak ahli di bidangnya masing-masing, karena mereka diangkat atas dasar sistem kekeluargaan dan keturunan. Di luar keluarga dan atau keturunan, tidak mendapatkan jabatan apapun, walaupun sebenarnya mereka memiliki keahlian tersendiri.
Uraian di atas dipahami bahwa pada periode awal pembentukan Daulat Abbāsiyah, lebih menekankan pada bidang kemiliteran dan pembinaan kebudayaan umat. Kelihatannya Daulat Abbāsiyah pada periode awal pembentukannya tidak melekat pada diri Khalifah moralitas yang sebaik dengan sahabat pada masa Nabi saw, khulafā’ al-rasyiīn, dan Daulat Umayyah itu sendiri. Dikatakan demikian, karena para khalifah Daulat Abbāsiyah kelihatannya tidak terkonsentrasi pada masalah pembangunan akhlak dan spritual. Mereka banyak melakukan penindasan terhadap pecinta Daulat Umayyah, dan mengadakan agresi militer dengan cara kekerasan.
Masih terkait dengan uraian di atas, ternyata atribut khalifah pada Daulat Abbāsiyah, mengalami penambahan makna. Sebelumnya, khalifah mengandung arti khalīfatu Rasulillah yakni pengganti Rasulullah untuk memelihara agama dan mengurus kehidupan ummat. Sedangkan pada Daulat Abbāsiyah, terutama pada kekhalifahan al-Mansur (754-775), makna khalifah sudah berkonotasi khalīfatullah, yakni pengganti atau “wakil Allah di bumi ini”. Al-Mansur sendiri menamakan dirinya sebagai sultanillāhi fī al-ard (penguasa Tuhan di bumi) atau zillullāhi ‘alā al-ard (bayangan Tuhan di atas bumi). Dengan demikian, khalifah di mata masyarakat dianggap sebagai wakil atau pengejewantahan Tuhan di bumi yang harus ditaati sepenuhnya. Perubahan makna khalifah seperti ini, tampaknya merupakan pengaruh langsung dari kepercayaan orang-orang Persia yang menganggap raja sebagai titisan suci dari Tuhan yang mempunyai hak-hak suci (divine rights of ling).
Seperti diketahui, Dinasti ‘Abasiyyah sangat didominasi oleh kebudayaan Persia dan bercorak internasional, menggantikan corak Arab yang bersifat regional di masa Dinasti Umayyah. Inilah perbedaan pokok antara Daulat Abbāsiyah dengan Daulat Umayyah. Di samping itu, menurut penulis bahwa ciri khas yang menonjol Daulat Abbāsiyah adalah perpindahan ibu kota dan pusat pemerintahan ke Bagdad, menjadi jauh dari pengaruh Arab. Sedangkan Daulat Umayyah sangat berorientasi kepada Arab. Dalam periode pertama pembentukan Daulat Abbāsiyah, kelihatan dengan jelas bahwa pengaruh kebudayaan Persia sangat berperan.
Sekaitan dengan uraian di atas, maka dalam rumusan penulis bahwa puncak perkembangan militer dan kebudayaan pada Daulat Abbāsiyah, tidaklah berarti seluruhnya berawal dari kreatifitas dan keprofesionalan banī Abbās sendiri. Akan tetapi, sebagian di antaranya sudah dimulai sejak masa Nabi saw, kemudian masa khulafā’ al-rasyidīn, dan masa Daulat Umayyah. Peralatan militer dan warisan kebudayaan yang ditinggalkan oleh masa sebelumnya, adalah modal utama yang tidak dapat dinafikan bagi Daulat Abbāsiyah pada periode awal pembetukannya.
Masa selanjutnya, yakni pada periode kedua pembentukan Daulat Abbāsiyah, dan periode-periode sesudahnya, Daulat Abbāsiyah mengalami kemajuan dan perkembangan, terutama dalam bidang politik dan ilmu pengetahuan. Walaupun, pada akhirnya daulat ini mengalami kemuduran dan kehancuran, tetapi masalah-masalah disebut terakhir ini, bukan sebagai obyek pembahasan penulis di sini.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ahmad Amin, Dhuhay al-Islām, Mesir: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah, t.th. Ahmad Amin, al-Tarīkh al-Islām wa al-Hadhārah al-Islāmiyah, juz 3 Mesir: Maktabah al-Nahdhah, t.th.  Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Djambatan, 1992. Harun Nasution, Islam; Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI. Press, 1985. Abū al-A’lā al-Mawdūdi, al-Khilāfah wa al-Mulk diterjemahkan oleh Muhanmad al-Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan, 1996.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar