Skip to main content

Muhammad Ahmad Khalfullah tentang Kisah Al-Qur'an

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: August 28, 2011

Tepatnya pada tahun 1946, Muhammad Ahmad Khalfullah dengan disertasi doktoralnya yang berjudul “al-Fann al-Qashashî fî al-Qur'an” telah menggoncangkan dunia pemikiran di Mesir dikarenakan substansinya yang penuh dengan gagasan-gagasan baru dan kontroversial seputar kisah al-Qur'an, sehingga membuat Cairo University tempat dimana beliau mengajukan disertasinya mengumumkan untuk menolak disertasi tersebut. untuk disidangkan.
Adapun yang melatarbelakangi gagasan beliau sebagaimana yang ditulis dalam disertasinya adalah hasil riset dan penelitiannya yang menyatakan bahwa sebagian besar para mufassirin mengganggap bahwa kisah al-Qur'an adalah bagian dari “mutasyâbih al-Qur'an”, dimana fenomena ini dimanfaatkan betul oleh orang-orang kafir dan mereka-mereka yang memiliki persepsi yang sama dari para missionaris dan orientalis untuk menghujat validitasi Nabi dan al-Qur'an. Mengenai faktor penyebab dari pemahaman para mufassirin diatas, sebagaimana yang ditulis dalam bukunya, adalah kepincangan metodologi yang mereka pakai dalam memahami hakikat kisah al-Qur'an, dikarenakan metodologi yang mereka pakai adalah sebagaimana para sejarawan memahami dokumen-dokumen sejarah, tidak sebagaimana memahami teks-teks agama dan sastra. Atas dasar itulah, beliau berinisiatif untuk memahami kisah al-Qur'an dengan memakai metodologi teolog, ahli bahasa dan para sastrawan sebagai sebuah solusi dari problematika diatas.
Mengenai faktor-faktor penunjang atas metodologi pemahaman yang ditawarkan oleh beliau adalah:
  1. Integritas pemaparan kisah dalam al-Qur'an tidaklah sebatas kepribadian para rasul dan nabi, akan tetapi lebih difokuskan pada tema-tema agama dan maksud dan tujuan dari pemaparan kisah itu sendiri baik yang berkaitan dengan masalah-masalah  sosial maupun etika.
  2. Pemaparan al-Qur'an tentang sejarah tidaklah dimaksudkan pembahasan sejarah itu sendiri secara konvensional kecuali dalam beberapa tempat yang sangat jarang sekali, sehingga tidak memungkinkannya untuk dijadikan sebagai sandaran hukum secara umum, bahkan yang sering kita dapatkan malah sebaliknya dimana al-Qur'an tidak banyak menyinggung komponen-komponen sejarah itu sendiri baik yang berhubngan dengan jaman maupun tempat.
  3. kurangnya kepedulian para mufassir selama ini akan unsur penggambaran kisah al-Qur'an dengan uslub dan kosa katanya yang bersifat mu'jiz dan indah.
  4. Tidak mampunya para orientalis dalam memahami uslub dan metodologi al-Qur'an dalam merekonstruksi sebuah kisah dan integritasinya dengan formula kisah itu sendiri, dimana fenomena diatas mendorong mereka untuk berkisimpulan bahwa telah terjadi sebuah evolusi karakter dan identitas di dalam al-Qur'an.
  5. Kelemahan mereka dalam memahami karakteristik substansi kisah al-Qur'an beserta rahasia-rahasia yang terkandung didalamnya, sehingga mendorong mereka untuk berpendapat sebagaimana para pendahulu mereka dari kaum musyrikin Makkah dan murtaddin dari kaum muslimin yang menyatakan bahwasannya yang mengajari Muhammad adalah seorang manusia dan bahwasannya distorsi pemaparan sejarah banyak terdapat di dalam al-Qur'an.
Syubhaat Seputar Kisah Al-Qur'an
Di antara beberapa gagasan yang dilontarkan oleh Khalfullah dalam rangka keluar dari tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh para orientalis dan missionaris dalam memahami hakikat kisah al-Qur'an sebagaimana yang telah disinggung diatas adalah Kurangnya komitmen al-Qur'an terhadap realita sejarah dalam memaparkan ayat-ayat kisah dan sejarah, hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam bukunya: “Sesungguhnya kaum muslimin telah berupaya keras dalam memahami hakikat kisah al-Qur'an melalui pendekatan sejarah, atas dasar itulah  mereka banyak melandaskan pemahamannya terhadap kebudayaan sejarah, israiliyyat dan teori-teori yang masih sebatas hipotesa dengan harapan dari ketiga komponen diatas mereka dapat menghilangkan kesamaran sejarah yang terkandung dalam kisah al-Qur'an baik yang berkenaan dengan jaman, tempat maupun personal. Dimana jikalau mereka berpaling dari landasan-landasan diatas dan berupaya untuk memahami al-Qur'an dengan menggunakan metodologi seni sastra tentulah mereka akan terjauhi dari tuduhan-tuduhan yang dilontarkan untuk menghujat nabi dan al-Qur'an”.
Adapun di antara rujukan yang dijadikan sebagai postulat bagi pembenaran gagasannya dari pendapat para ulama klasik maupun kontemporer adalah:
  1. Pendapat pengarang Tafsir al-Manar yang menyatakan bahwa apa yang diriwayatkan dari kisah Harut dan Marut sebagaimana yang tertera dalam surat al-Baqarah: 102, tentang sihir dan anggapan bahwasannya Nabi Sulaiman telah mengerjakan perbuatan kafir . . .   . . .  tidaklah mesti bahwa kejadian diatas benar-benar terjadi secara realita, sebagaimana juga pernyataan ‘Abduh bahwasannya kisah al-Qur'an hanya diturunkan sebatas sebagai peringatan dan pelajaran bukan sebagai penjelasan sejarah.
  2. Pendapat al-Razi dan Nisaburi pada catatan kecil At-Tabari dalam menafsirkan surat Yûnus:39,  “Sesungguhnya ketika kaum musyrikin berasumsi bahwasannya kisah al-Qur'an tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu, mereka belum memahami bahwa maksud dan tujuan dari pemaparan kisah tersebut bukanlah kisah itu sendiri, melainkan sebagi penjelasan akan kekuasaan Tuhan dalam bertindak di alam semesta ini.
Dari paparan tersebut Khalfullah mengklaim bahwa dirinya telah berhasil memberikan sebuah solusi dari problematika di atas dengan seruannya agar kita dapat memahami hakikat hubungan antara sastra dan sejarah, dimana al-Qur'an dilihat dari aspek balaghah adabiyyah dan seni ceritanya tidaklah harus sesuai (konsekwen) dengan realita.
  1. Khalfullah dalam konteks di atas berupaya untuk memahami teks-teks Ilahi sebagaimana pemahamannya terhadap teks-teks manusia, dimana beliau juga menambahkan bahwasanya konteks diatas adalah murni kaitannya dengan masalah-masalah seni dan sastra dan tidak ada kaitannya dengan realita maupun dokumentasi sejarah, hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Shakespeare,Bernard Shaw, Syauqi … … dalam karya-karya mereka.
  2. Sesungguhnya pernyataan para mufassirin baik klasik maupun kontemporer bahwasannya kisah al-Qur'an hanya diturunkan sebagai peringatan dan petunjuk merupakan seruan bagi kaum muslimin untuk tidak membahas kisah itu sendiri secara mendetail dan bukanlah berarti bahwa makna-makna sejarah yang terkandung di dalam al-Qur'an akseptabel untuk digugat dan diinovasi.
  3. Apa yang tertera di dalam al-Qur'an dari kejadian-kejadian yang sifatnya irrasional seperti pendengaran Nabi Sulaiman akan pembicaraan semut dan penaklukan bangsa jin dibawah kendalinya, bukanlah merupakan sebuah ambivalensi dengan rasio dan dalil-dalil yang sifatnya dogmatis. Bukanlah semua kejadian yang sifatnya ajaib merupakan sebuah kemustahilan, dikarenakan kalau demikian adanya maka akan berarti bahwasannya segenap mukjizat adalah mustahil sebagaimana juga penemuan-penemuan ilmiah baru yang oleh orang-orang dahulu sama sekali belum terbayangkan.
  4. Kontradiksi antara apa yang dikisahkan Allah Swt. kepada kita dalam al-Qur'an dengan fakta-fakta sejarah tidaklah akan terjadi kecuali dikarenakan dua faktor:
  • Tidak adanya kisah al-Qur'an dalam literatur sejarah, dengan kata lain bahwasannya sumber-sumber sejarah bersikap netral untuk menerima atau menolak terhadap kisah-kisah yang dibawa oleh al-Qur'an. 
  • Adanya kontradiksi antara kisah al-Qur'an dengan apa yang tertera dalam literatur sejarah.
Jikalah penyebabnya adalah faktor pertama, maka bukanlah ketidakmampuan kita dalam melacak kisah-kisah al-Qur'an dalam literatur sejarah berarti sebuah bukti kongkrit akan ketidakberadaan kisah-kisah tersebut dalam realitanya. Adapun jikalah terdapat kontradiksi antara kisah al-Qur'an dengan apa yang terdapat dalam literatur sejarah, maka dalam hal ini hendaklah kita melihat kepada substansi sejarah itu sendiri apakah ia bersifat mutawatir dalam periwayatannya sehingga layak bagi sebuah teks al-Qur'an untuk diinterpretasi ulang sehingga selaras dengan fakta sejarah diatas ataukah ia sebatas zhanniyyat yang secara keotentikannya masih belum dapat dipertanggung jawabkan?
Adapun asumsi Khalfullah bahwasanya unsur sejarah bukanlah merupakan bagian dari maksud dan tujuan diturunkannya al-Qur'an dan  ketergantungan kita dengan realita kejadian-kejadian yang digambarkan oleh al-Qur'an memberikan kesempatan bagi musuh-musuh Islam untuk menghujat nabi dan al-Qur'an bahkan mendorong kaum muslimin untuk tidak mempercayai kandungan al-Qur'an … …, Maka dalam hal ini kita akan balik bertanya: apakah solusi yang ditawarkan oleh beliau dalam memahami kisah al-Qur'an dengan menjadikannya sebagai sebuah kreasi seni akan menjauhkan al-Qur'an dari tangan musuh-musuhnya?
Asumsi Khalfullah bahwasannya al-Qur'an mengandung dongengan orang-orang yang terdahulu, dimana  diantara postulat yang dijadikan sandaran beliau dalam hal ini adalah anggapannya bahwa tatkala kaum musyrikin menyebutkan al-Qur'an sebagai  “asâthir al-awwalîn” bukanlah tanpa alasan dan  dikarenakan kebodohan dan kedengkian mereka, melainkan hal ini merupakan hasil dari sebuah keyakinan kuat yang mereka yakini … … sebagaimana al-Qur'an sendiri secara eksplisit tidak menafikan akan keberadaan “asathir” didalamnya,  sebagaimana disebutkan dalam surat al-Furqan:5-6,
“Dan mereka berkata: dongengan-dongengan orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang. Katakanlah: al-Qur'an itu diturunkan oleh Allah yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia adalah Mahapengampun lagi Mahapenyayang”. 
Pada ayat diatas, al-Qur'an hanyalah sebatas menafikan anggapan bahwa dongengan-dongengan tadi merupakan karya Muhammad, disamping juga untuk menguatkan bahwasannya ia adalah benar-benar diturunkan oleh Allah swt. … … Atas dasar itulah, pendapat yang menyatakan bahwasannya al-Qur'an mengandung dongengan-dongengan, dalam hemat beliau,  bukanlah merupakan satu hal yang kontradiktif dengan teks-teks al-Qur'an itu sendiri. Masih menurut  beliau, bahwasannya pembahasan al-Qur'an tentang “asâthir” timbul disaat ia berinteraksi dengan penduduk Makkah yang mayoritas mereka terdiri dari kaum musyrikin, dimana pada saat yang sama kita tidak mendapatkan satupun dari ayat-ayat Madaniyyah yang membahas topik diatas (sebuah fenomena menarik yang membutuhkan interpretasi lebih jauh).
Referensi Makalah®
*Dikutip dari berbagai sumber
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar