Skip to main content

Kok "Poco-poco"..

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: July 17, 2011

Lagu Minahasa menggemaskan karya Arie Sapulette dan dipopulerkan Yopie Latul ini boleh-boleh saja surut dari berbagai panggung seantero tanah air setelah meraja beberapa tahun di awal 2000-an, tak lagi membuat negeri ini bergoyang berirama genit tapi santun.
Namun di pesta-pesta adat Batak Poco-poco tetap berjaya (bersanding dengan lagu rakyat simelungun, Pos ni uhur, yang liriknya justru sebenarnya adalah curahan hati seorang gadis yang ditinggal hamil). Sampai hari ini, dan bahkan mungkin sampai satu atau dua dekade lagi Poco-poco akan tetap menggairahkan ibu-ibu Batak dan sejumlah lelaki “pinggiran” menari-ria di pinggir-pinggir ruang dan sela-sela sempit pesta adat batak yang garing menjemukan.
Konon, tarian ini bermula dari sana dan hanya di sela-sela acara, yaitu saat pemberian tumpak atau ulos. Ya, mereka (perempuan-perempuan batak) menari sukacita di pinggir-pinggir dan pojok-pojok ruang, dan di sela-sela sempit waktu acara. Pesta adat Batak telah dikuasai oleh laki-laki dan bahkan segelintir laki-laki yang bernama atau berprofesi sebagai raja adat. 

Belasan atau puluhan “raja parhata” ini yang duduk di tengah ruangan syuur sendiri berbicara berbusa-busa (dengan atau minus bir) atas nama adat dan kebiasaan yang sering dianggap ilahi, sementara ratusan atau ribuan orang hanya bisa duduk terdiam menonton kesyuran mereka. Rupanya ibu-ibu muda Batak tak tahan, mereka pun memberontak. 

Mereka menari Poco-poco dengan sesamanya seakan mengatakan tidak perduli dengan apa yang sedang dibicarakan laki-laki di tengah ruangan sana. Dan perempuan-perempuan muda Batak mulai memberontak walau secara halus. 

Mereka tidak menantang terang-terangan tetapi cuek atau tak perduli dan membuat acaranya sendiri di pesta Batak: senam poco-poco. Balenggang pata-pata, ngana pe goyang pica-pica. Bagus!
Inilah syair dari lagu yang “mengherankan” tersebut:
Ngana pe goyang pica-pica
Ngana pe bodi poco-poco
Cuma ngana yang kita cinta
Cuma ngana yang kita sayang
Cuma ngana suka biking pusing
Ngana bilang kita na sayang
Rasa hati ini malayang jau… uh… ci ya … ci ya
Biar kita ngana pe bayang
Biar na biking layang-layang
Cuma ngana yang kita sayang
Kalau tak salah, saya pertama sekali jatuh hati kepada Poco-poco adalah saat perhelatan seorang pejabat teras di kabupaten. Serombongan bergoyang untuk lagu “asing” itu Memang kuping saya langsung menebak pastilah itu lagu Binyok (istilah kami mengejek kawan-kawan Menado) sebab hanya merekalah yang suka ber-ngana-ngana kepada kawannya sekampung. Ngana artinya: kamu. Poco-poco? Waktu itu saya tak tahu. Barangkali tak penting tahu. Yang penting asyik nonton dan menyaksikan mereka bergoyang, bersukacita bersama-sama kawan seiman
Pada suatu kesempatan saya bertanya juga kepada seorang teman Menado apa sebenarnya makna lirik lagu yang sangat spektakuler itu. Dia pun menjelaskan sambil ketawa-ketawa:
Berlenggang patah-patah.
Kamu lincah menggariahkan
Kamu punya “bodi” montok
Cuma kamu yang kita cinta
Cuma kamu yang kita sayang
Cuma kamu suka biking pusing
Sebelum selesai, saya terentak mendengar penjelasan teman asal Menado itu, saraf kritik (haparhaladoon) saya segera membunyikan peluit alarm bahaya. Persepsi saya kepada Poco-poco tiba-tiba berubah 180 derajat dari suka kepada muak. Ini jelas-jelas infiltrasi budaya Menado kepada budaya Batak, kata saya dalam hati. Dipengaruhi prasangka etnis bahwa Menado “terlalu” bebas dan suka pesta dansa-dansi, maka persepsi saya tentang negative. Ngana pe bodi poco-poco artinya: “kamu punya “body” montok menggairahkan”! bahayya na?
Ada pemandangan unik pada perayaan menyambut HUT Proklamasi RI tahun ini. Entah asumsi dari mana, poco-poco dengan tariannya tiba-tiba dilombakan antar istansi dan kelurahan, dan seperti yang lumrah, pesertanyapara ibu-ibu, sebagian besar muda, menari Poco-poco itu bukan lagi di tengah-tengah ruangan atau di sebuah even khusus, tetapi mulai dijadikan acara perayaan HUT Proklamasi RI yang di gelar di tempat terbuka, kantor kecamatan.Seorang rekan pegawai yang kebetulan sudah “umuran” ditanya, kenapa tidak ikut?, dengan muka merah menjawab, kan yang ikut Cuma yang muda pak!.
Penulis bukan ulama, bukan radikal, pejabat apalagi, saya hanya mencoba menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lain. Perhatian dan concern saya terutama karena itu sebenarnya seperti “jebakan” ditengah gelombang budaya s3ks bebas dan pornografi. Kita seakan telah kehilangan inspirasi, lupa terhadap budaya kita sendiri, agama makin jauh, sedih…
Dipencet di sini menggelembung di sana, ditekan di sini menggelembung di sana. Repot sekali. Saya jadi bertanya: Apakah kesukaan perempuan-perempuan sekarang menari diiringi musik menghentak, memekakkan kuping disaksikan oleh orang banyak termasuk laki “genit” menjadi kegemaran aneh?. 

Tidakkah kita heran mencoba belajar dengan syair dan arti yang dikandung, tidakkah kita mencoba menggali sejarahnya?. Yang sedikit nasionalis, tidakkah kita merasa lagu dan tarian itu menginjak “kemanusiaan yang adil dan BERADAB kita? saya mau mendukung perjuangan mereka menciptakan hal-hal menyenangkan dan positif, tapi bukan yang menginjak budaya luhur Negara kita dan juga lebih adil dan mengakui kedudukan dan peran perempuan.
Referensi Makalah®
*Refleksi Admin
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar