Skip to main content

Cucu Nabi: Sebuah Narasi yang Terpenggal

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: December 14, 2010

Keduanya begitu akrab di telinga kita, karena keduanya cucu baginda, tapi kenapa narasi sejarah seolah menampilkan keduanya sebagai tokoh anak-anak yang tak pernah dewasa?
Masih lekat dalam ingatan kala dulu guru ngaji dan guru agama  bercerita tentang dua cucu nabi yg lucu dan amat disayangi nabi. Begitu sayang dan cintanya nabi kepada dua cucunya itu, hingga suatu saat nabi saw sujud kala memimpin shalat jamaah di mesjid, kedua cucu tersebut masuk dan naik ke punggung nabi, dan hal itu mmbuat nabi memperlama sujudnya sampai kedua cucunya itu turun dari punggungnya. Juga ketika nabi saw menimang-nimang cucunya dan mencium dengan penuh kasih sayang, suatu prilaku yang amat aneh untuk ukuran seorang laki-laki di zaman itu, hingga seorang Badui kala melihat hal itu berkata; “Ya Muhammad apakah itu anakmu?”.
Rasulullah saw menjawab: “Ini adalah cucuku”, dan si Badui itu pun berkata; “aku terhadap anakku saja, tak pernah aku menciumnya”. Sebuah kisah tentang limpahan kasih Nabi saw ada cucu yang dicintainya. Siapakah kedua cucu Nabi saw itu?, Yah, dialah Hasan bin Ali dan adiknya Husein bin Ali, cucu Nabi saw dari sang putri Fatimah. Namun, kemudian guru agama  tak pernah lagi bertutur tentang bagaimana keadaan cucu nabi saw itu kala dewasa hingga menemui ajalnya. Kedua cucu yang sangat dikasihi itu seolah lenyap dalam narasi sejarah. Seolah keduanya bukanlah orang penting yang harus direkam jejak hidupnya dari momen penting hingga persoalan yang biasa-biasa saja. Mereka menikah dengan siapa? Berapa anaknya? Meninggal di umur berapa? Karena apa? Nyaris, narasi sejarah arus utama amat jarang (untuk tidak mengatakan “tidak”) menuturkannya kepada kita. Jadilah kita mengenal cucu baginda saw, seolah-olah hanya narasi anak kecil yang tak pernah dewasa. Cucu yang sangat dibanggakan baginda saw, yang disebut sebagai pemuda ahli surga, yang suci dan disucikan sebagaimana dijamin dalam surat 33 ayat 33, pun lenyap dari perhatian.
Siapakah dia?, Bagaimana perjuangannya?, Di mana jejak langkahnya?, Kapan dan di mana dia meregang nyawa?, Apa ajarannya?, Bagaimana pemikirannya?, Pun, di mana kita bisa melacaknya. Narasi tentang cucu Nabi yang mulia yang sangat disayang begitu rupa oleh sang baginda terpenggal, seolah mereka tak pernah dewasa. Namun, sejarah takkan bisa dibohongi, tetap ada ruang tuk menuturkan jejak langkah sang cucu nabi, meski hanya berada di baris sejarah peripheri, karena sejarah arus utama telah dikuasai oleh sang tirani. Namun pena sejarah takkan pernah tumpul, dan kan selalu ada tinta untuk menoreh cerita tentang bakti cucu nabi yang mulia.
Sayidina Hasan, kakak Husein, Pagi-pagi, ia disuguhi racun oleh istrinya yang lantas mengaku bahwa itu atas suruhan sang khalifah. Hasan memaafkan istrinya, dan besok pagi sesudah kejahatannya dimaafkan, sang istri kembali menyuguhkan racun, Hasan meminumnya hingga ia menemui ajalnya. Ada apa dengan Hasan hingga istrinya harus meracunnya berulang kali?, Hingga tak satu, dua kali ia muntahkan isi yag ada dalam perutnya?, Siapakah yang begitu nista memerintahkan istrinya untuk meracun seorang sumai yang begitu mulia?, Siapakah, yang meski Hasan telah mengalah, ia masih juga resah dan berkonspirasi membunuh cucu sang uswah?.
Bagaimana dengan Husein?. Tragika pilu menyayat hati di suatu padang nan tandus, kala keluarga nabi tercekat haus sementara didepan menghadang tentara sang khalifah yang rakus. Orang yang sangat mencintai Nabi saw dan Nabi sangat mencintainya, menemui ajal di tangan umat kakeknya di tengah sahara. Husein dan 72 orang keluarga dan sahabatnya berhadap-hadapan dengan ribuan tentara yang beringas nan buas atas perintah khalifah yang culas. Inilah akhir dari perjuangan Husein, namun awal dari salah satu penggalan sejarah. Dialah Husein yang kematiannya nan tragis menorehkan kemenangan manis dan memantik semngat juang yang takkan pernah terkikis di hati pencintanya yang mukhlis.
Dan itulah cucu baginda, kala pena kekuasaan hendak menyingkirkannya dari lembar sejarah. Tapi tangan-tangan kaum mustadh’afin yang mukminin justru menggenggam pena intan dengan tinta emas tuk tuliskan dengan cermat bagaimana kedua cucu nabi yang mulia melalui hidup untuk berkhidmat.
*Berbagai sumber
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar