Skip to main content

Penelitian Sosial dan Agama

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: November 30, 2010

Realitas berupa fakta dan fenomena. Fakta adalah kejadian yang muncul dalam kontak budaya di masyarakat. Fakta ada yang dapat diamati dan ada yang hanya dapat dirasakan. Fakta adalah realitas yang benar-benar terjadinya atau ada. Fakta dapat diamati dan mendukung hadirnya realitas. Sedangkan teralitas dapat benar-benar terjadi, akan dan sedang terjadi. Realitas ini bersifat alamiah sehingga wujudnya pun apa adanya. Realitas dan fakta tersebut akan memunculkan sebuah fenomena. Maka tugas penelitian adalah mengolah fenomena tersebut agar menjadi sebuah data yang akurat.
Realitas sosial dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu : Pertama, realitas dalam alam kodrat/alam anogranik (fisika/ilmu kealaman) dan realitas dalam alam organik/alam hayat (biologi). Realitas dalam kedua alam ini bersifat empiris, kuantitatif, materialistik, dan rasionalistik. Kedua, realitas dalam gejala-gejala sosial budaya (termasuk gejala keberagaman). Ini merupakan gejala serupa organik yang bersifat abstrak dan tak teraba. Lebih-lebih gejala sosial agama yang berkaitan dengan keyakinan terhadap yang adikodrat (beyond life).
Semua gejala keagamaan itu tidak sekedar dilihat bentuk, frekuensi (intensitas), pola, melainkan (yang lebih penting) adalah pemaknaannya. Oleh karena itu, realitas sosial dalam studi-studi sosial pada galibnya lebih banyak bergumul dengan konsep-konsep atau konstruksi sosial (social construction).
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara mendefinisikan realitas sosial ke dalam suatu konsep, padahal realitas sosial itu bersifat kompleks dan multidimensional. Maka seorang peneliti harus mengenali seluruh aspek yang menjadi indikator dari realitas itu lalu melakukan imajinasi dan abstraksi yang kemudian diformulasikan secara verbal menjadi rational construction yang disebut konsep. Permbuatan konsep (konseptualisasi) ini sangat penting, karena perbedaan konsep akan menghasilkan perbedaan temuan data, dan perbedaan temuan data akan mengakibatkan perbedaan hasil analisis yang disebut kesimpulan.
Persoalan berikutnya adalah siapakah yang membuat konsep, peneliti (subjek peneliti) atau yang diteliti (subjek yang diteliti)?
Paradigma kaum strukturalis (paradigma makro) menyatakan bahwa peneliti yang berdasarkan kepakaran atau berdasarkan teori-teori yang ada, mestinya harus mengenali, mendefinisikan dan memformulasikan konsepnya. Realitas sosial tentang kemiskinan misalnya, ditentukan oleh peneliti berdasarkan konsumsi kalori perhari, keadaan fisik dan fasilitas yang dimiliki, dan sebagainya.
Adapun paradigma kaum fenomenologis/interaksionis (mikro) menyatakan bahwa konsep yang harus dipakai untuk menyatakan secara definitif terhadap suatu objek harulah menurut pelaku sosial sebagai realitas.
Etos ilmu pengetahuan sosial adalah mencari kebenaran obyektif, yaitu upaya untuk mencari kebenaran tentang realitas. Menurut kaum strukturalis, realitas dan obyektifitas itu ditentukan oleh peneliti berdasarkan teori yang ada. Karena itu, kebenaran bersifat subjectivied objectives atau objektif yang subjektif menurut peneliti. Peneliti ibarat ahli biologi yang melihat bakteri melalui mikroskop.
Sebaliknya, menurut kaum fenomenologis bahwa realitas sosial itu sesungguhnya adalah struktur kognitif seseorang atau sejumlah orang dan berada di alam imajinasi, pikiran, perasaan, dan cita. Hal inilah yang justru menjadi objek kajian dalam ilmu-ilmu sosial yang utama dan pertama. Oleh karena itu, subjektivitas awam itu justru merupakan objectivied subjectivies atau subjektif yang objektif. Dalam hal ini, peneliti ibarat murid yang belajar dari masyarakat yang diteliti.
Pada dasarnya, penelitian sosial merupakan penelitian pada keadaan-keadaan yang dengan nyata terdapat dalam masyarakat atau masalah-masalah kemasyarakatan. Sementara penelitian dalam bidang agama terkadang dipahami dengan dua makna yang berbeda, yaitu penelitian agama dengan penelitian keagamaan. Yang pertama lebih menekankan pada materi agama, sehingga sasarannya adalah tiga elemen pusat, yaitu : ritus, mitos dan magik. Sedangkan yang kedua lebih menekankan kepada agama sebagai sistem atau sistem keagamaan. Dengan demikian, sasaran penelitian agama adalah agama sebagai doktrin, sedangkan sasaran penelitian keagamaan adalah agama sebagai gejala sosial.
Apabila penelitian keagamaan memandang agama sebagai gejala soaial, maka tentu saja akan sangat erat hubungannya dengan penelitian sosial yang juga meneliti berbagai keadaan dalam masyarakat. Penelitian agama sebagai usaha akademis berarti menjadikan agama sebagai sasaran penelitian. Secara metodologis, agama harus dijadikan sebagai suatu fenomena rill, meskipun agama itu terasa abstrak.
Dari sudut pandang ini, dapat dibedakan tiga kategori agama sebagai fenomena yang menjadi subject metter peneliti, yaitu agama sebagai doktrin, dinamika dan struktur masyarakat dibentuk oleh agama, dan sikap masyarakat pemeluk agama terhadap doktrin. Kategori pertama bertolak dari keinginan untuk mengetahui dan memahami esensi agama itu sendiri. Penelitian atau kajian yang banyak dilakukan umumnya bercorak sejarah intelektual dan biografi tokoh agama. Teks-teks keagamaan, tradisi dan catatan sejarah merupakan bahan-bahan utama yang harus digali.
Kategori kedua adalah struktur dan dinamika masyarakat agama. Agama di sini adalah landasan dari terbentuknya suatu komunitas kognitif. Artinya bahwa agama merupakan awal dari terbentuknya komunitas atau kesatuan hidup yang diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama, yang memungkinkan berlakunya suatu patokan pengetahan yang sama pula.
Kategori ketiga adalah berusaha mengungkap sikap anggota masyarakat terhadap agama yang dianutnya. Jika kategori pertama mempersoalkan substansi ajaran, dengan segala refleksi terhadap ajaran, sedangkan kategori ketiga adalah usaha untuk mengetahui corak pemahaman masyarakat terhadap simbol dan ajaran agama.
Jika dilihat dari dua kategori terakhir ini, maka dapat dipahami bahwa penelitian sosial dan agama memiliki hubungan yang sangat erat dan tak dapat dipisahkan satu sama lain. Sebab, ketika melakukan penelitian terhadap agama, maka hampir tidak terlepas dari penggunaan pendekatan-pendekatan atau pun kerangka metodologis ilmu-ilmu sosial. Dalam konteks ini, secara sosiologis misalnya, agama dianggap sebagai bagian dari konstruksi realitas sosial. Dengan demikian, penelitian sosial jika dihubungkan dengan penelitian agama semuanya dapat dikatakan merupakan paradigma penelitian yang bersifat empiris.
Muhammad Arkoun adalah sosok yang tengah mencoba menggugat kemapanan kajian keagamaan dan menawarkan paradigma kajian agama yang lebih bercorak empris. Menurutnya, perlu pengembangan metode pemikiran keagamaan dengan menggunakan pendekatan empiris-historis, dalam artian pendekatan sosiologis-antropologis terhadap teks-teks dan naskah-naskah keagamaan pada abad lampau. Jadi, kajian agama yang bersifat empiris memerlukan bantuan ilmu-ilmu sosial sebagai alat analisis.
Hal tersebut membuktikan perlunya pemahaman mendalam terhadap khazanah intelektual keagamaan klasik dan tradisi lokal masyarakat. Dengan demikian, corak pemikiran keagamaan yang dikembangkan tidak lepas dari masa lampaunya dan benar-benar menyatu dengan problem kultur suatu masyarakat. Lebih dari itu, penggalian khazanah pemikiran keagamaan dan pemanfaatan ilmu-ilmu sosial dimaksudkan untuk menghasilkan kajian keagamaan yang mempunyai bobot otoritas yang tinggi dalam mendorong “transformasi ummat”.
Penelitian sosial dan agama semakin terlihat hubungannya yang erat dengan melihat faktor sosial dalam agama terdiri dari berbagai pengaruh terhadap keyakinan dan perilaku keagamaan. Sehingga ketika seorang peneliti ingin mengetahui tingkat keberagamaan seseorang atau suatu kelompok masyarakat, maka ia juga harus meneliti perilaku seseorang atau masyarakat tersebut. Sebab, tingkat keberagamaan seseorang lebih banyak nampak pada perilakunya dalam bermasyarakat. Dalam hal ini, agama dianggap sebagai bagian dari konstruksi realitas sosial. Dengan demikian, apabila dilihat dari sisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penelitian sosial merupakan paradigma penelitian agama yang bersifat empiris.
Uraian terdahulu telah banyak dikemukakan bahwa objek penelitian sosial adalah manusia dan segala sesuatu yang dipengaruhi dan mempengaruhi manusia. Oleh karena itu, sumber data dalam penelitian bidang sosial akan selalu berhubungan dan dipengaruhi oleh keunikan manusia. Keunikan itu berasal dari individualitas manusia sebagai perpaduan/kesatuan unsur fisik dan psikis yang tidak sama satu sama lain. Sehingga dalam hal ini, objek dalam penelitian sosial tentunya manusia dengan segala perilakunya dalam kehidupannya.
Di satu sisi, kenyataan telah membuktikan bahwa manusia sangat membutuhkan agama, di mana harapan untuk mendapatkan keamanan dengan menggunakan kekuatan-kekuatan spiritual yang dianggap sebagai salah satu sumber sikap keagamaan. Karena itu, masalah keagamaan adalah masalah yang senantiasa menyertai kehidupan ummat manusia sepanjang sejarahnya sebagaimana masalah sosial lainnya. Sikap keberagamaan kini telah menjadi bagian dari kebudayaan manusia yang telah dikembangkan sedemikian rupa, baik berupa ritus, pranata sosial, maupun perilaku dalam berbagai dimensinya.
Ilmu pengetahuan sosial dengan berbagai paradigma dan metodenya, dikembangkan dalam rangka mengkaji perilaku manusia, termasuk dalam perilaku beragama. Karena itu, sebuah penelitian disebut sebagai penelitian agama atau penelitian sosial didasarkan pada objek yang dikaji, bukan karena metodologinya. Objek studilah yang akan menentukan metode, bukan sebaliknya. Misalnya, perilaku poligami masyarakat pengusaha dikatakan sebagai penelitian agama ketika dihubungkan dengan keberagamaannya. Tetapi dikatakan sebagai penelitian sosial apabila dihubungkan dengan misalnya, kondisi ekonomi atau pranata sosial. Oleh karena itu, penelitian tentang fenomena keberagamaan oleh sebagian ahli dikatakan sebagai bagian dari penelitian sosial atau penelitian sosial keagamaan.
Menurut Mattulada, bahwa untuk menentukan metode yang relevan dalam mengkaji agama sebagai fenomena sosial-budaya, tidaklah sulit. Menurutnya, ilmu pengetahuan sosial dengan cara, metode, teknik dan peralatannya masing-masing dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia itu hingga menemukan segala unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu.
Sementara menurut Dhavamony, bahwa fokus penelitian agama adalah fakta agama dan pengungkapannya. Untuk itu, dapat dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu, meskipun membahas pokok pembicaraan yang sama, namun berbagai disiplin tersebut mengkajinya dalam perspektif masing-masing sesuai dengan objek formalnya.
Metode ilmu sejarah menekankan proses terjadinya perilaku manusia dalam masyarakat dan membaginya dalam tahap-tahap tertentu (periodesasi) secara kronologis. Proses itu menjelaskan awal kejadian dan faktor-faktor yang ikut berperan di dalamnya. Metode sejarah yang dengan amat teliti mengamati suatu proses sosial budaya dapat digunakan untuk memahami proses formasi sebuah agama, persebaran agama ke seluruh perkumpulan hidup manusia. Dengan singkat, sejarah agama mengkaji proses sebuah agama dari pertumbuhan, perkembangan dan kehancurannya.
Metode antropologi mempelajari terbentuknya pola-pola perilaku dalam tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan manusia; bagaimana doktrin dan simbol-simbol agama dipahami, disosialisasikan dan diinternalisasi dalam sistem budaya setempat. Melalui metode antropologi ini, diketahui keragaman dan keunikan pola, corak, tingkat dan stereotype keberagamaan suatu komunitas. Style keberagamaan dalam lingkungan sekte maupun ormas-ormas dapat dikaji dalam perspektif antropologi ini.
Metode sosiologi mengkaji posisi dan peranan tertentu dari seseorang atau sekelompok orang. Posisi dan peranan-peranan itu menyatakan diri dalam kehidupan bersama, sehingga kehidupan sosial dapat terselenggara melalui hubungan-hubungan fungsional dalam masyarakat, yang bersumber dari kedudukan dan peranannya dalam kehidupan ummat beragama. Dengan beberapa paradigma, teori dan metode, dengan cermat sosiologi mengkaji perilaku beragama individu dan kelompok, hubungan antar kelompok, dan hubungan antar masyarakat (agama).
Metode psikologi agama mengkaji perilaku beragama dan pengalaman beragama dalam hubungannya dengan kondisi kejiwaan seseorang; bagaimana hubungan agama dengan kondisi kejiwaan seseorang dalam berbagai peristiwa, seperti kematian, tertimpa bencana dan sebagainya. Fenomena keagamaan seperti pelaksanaan ritus-ritus maupun upacara-upacara keselamatan akan dapat dicermati dengan teliti melalui psikologi agama.
Setelah memperhatikan metode-metode tersebut, semuanya dapat digunakan dalam penelitian agama. Dari sini dapat dipahami bahwa metodologi penelitian sosial dan agama memiliki persamaan dan perbedaan. Karena itu, sebagaimana telah dikemukakan di awal tadi bahwa sebuah penelitian disebut penelitian agama bukan karena metodenya, melainkan karena objek kajiannya. Dengan demikian, letak persamaan dan perbedaan antara penelitian agama dan penelitian sosial terdapat pada objeknya.
Dalam hal ini, objek penelitian agama terdiri dari dua kelompok: pertama, agama sebagai norma yang lebih dominan watak teologisnya, kedua, agama sebagai fenomena sosial yang bersifat historis. Dengan objek tersebut, berarti penelitian agama memiliki dua pendekatan, yaitu normativitas dan historitas.
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar